Bendaharawan sebagai pemungut PPh Pasal 22 ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 245/KMK.03/2001 ttg Penunjukkan Pemungut PPh Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya s.t.d.t.d PMK 210/PMK.03/2008 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 417/PJ./2001 tentang Petunjuk Pemungutan PPh Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut bendahara yang dimaksud adalah bendahara pada:
Penyetoran yang dilakukan oleh bendahara atas pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama rekanan (penjual) yang telah ditandatangani oleh bendahara. SSP tersebut merupakan bukti pemungutan PPh Pasal 22 untuk rekanan (penjual).
Setelah melakukan pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22, kewajiban selanjutnya yang harus dilakukan oleh bendahara adalah melaporkan hasil pemungutan yang telah disetorkan tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana bendahara tersebut terdaftar. Pelaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22 dan dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Pengecualian dari pemengutan PPh Pasal 22 oleh bendahara adalah dalam hal pembayaran :
Pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh bendahara sebenarnya adalah pemotongan. Jika memang pemungutan, seharusnya penjual menerima pembayaran dengan jumlah yang sama dengan harga barang itu sendiri (sama seperti perhitungan PPN), tetapi dalam pemungutan PPh Pasal 22, penjual menerima pembayaran setelah dikurangi/dipotong sebesar 1,5 % dari harga barang). contoh: bendahara melakukan pembelian komputer senilai 6 juta rupiah, maka total pembayaran yang diterima oleh penjual adalah sebesar 5.920.000 rupiah (6 juta - (1,5 % x 6juta). Dalam hal ini bendahara memungut PPN sebesar 600.000 rupiah dan PPh Pasal 22 sebesar 80.000 rupiah. Nah jelaskan bahwa pada dasarnya itu bukan pemungutan tetapi seharusnya pemotongan.
Terlepas dari itu semua ketentuan telah menyebutkan bahwa PPh Pasal 22 adalah pemungutan, dan nyata-nyatanya sekian lama istilah itu digunakan tetap tidak diubah. Dengan demikian saya berkesimpulan penggunaan istilah tersebut tidak terlalu dipermasalahkan.
- Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendaharawan Pemerintah baik ditingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
- Badan usaha milik negara dan Badan usaha milik daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 3;
- Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
Penyetoran yang dilakukan oleh bendahara atas pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama rekanan (penjual) yang telah ditandatangani oleh bendahara. SSP tersebut merupakan bukti pemungutan PPh Pasal 22 untuk rekanan (penjual).
Setelah melakukan pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22, kewajiban selanjutnya yang harus dilakukan oleh bendahara adalah melaporkan hasil pemungutan yang telah disetorkan tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana bendahara tersebut terdaftar. Pelaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22 dan dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Pengecualian dari pemengutan PPh Pasal 22 oleh bendahara adalah dalam hal pembayaran :
- jumlahnya paling banyak 1.000.000 rupiah dan tidak merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
- untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum (PDAM), dan benda-benda pos;
- dana jaringan pengaman sosial (JPS) oleh kantor pelayanan perbendaharaan dan kas negara;
- pembelian gabah, dan/atau beras oleh BULOG.
Pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh bendahara sebenarnya adalah pemotongan. Jika memang pemungutan, seharusnya penjual menerima pembayaran dengan jumlah yang sama dengan harga barang itu sendiri (sama seperti perhitungan PPN), tetapi dalam pemungutan PPh Pasal 22, penjual menerima pembayaran setelah dikurangi/dipotong sebesar 1,5 % dari harga barang). contoh: bendahara melakukan pembelian komputer senilai 6 juta rupiah, maka total pembayaran yang diterima oleh penjual adalah sebesar 5.920.000 rupiah (6 juta - (1,5 % x 6juta). Dalam hal ini bendahara memungut PPN sebesar 600.000 rupiah dan PPh Pasal 22 sebesar 80.000 rupiah. Nah jelaskan bahwa pada dasarnya itu bukan pemungutan tetapi seharusnya pemotongan.
Terlepas dari itu semua ketentuan telah menyebutkan bahwa PPh Pasal 22 adalah pemungutan, dan nyata-nyatanya sekian lama istilah itu digunakan tetap tidak diubah. Dengan demikian saya berkesimpulan penggunaan istilah tersebut tidak terlalu dipermasalahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar