Kamis, 27 Mei 2010

PPh atas Transaksi Derivatif, hidup tak mampu matipun segan

Ha ha.....ini dia aturan pajak atau boleh dibilang pengenaan pajak yang lucu bin aneh.
Pajak Penghasilan atas Transakasi Derivatif, hidup tak mampu matipun segan. Yah begitulah nasib yang harus dijalani Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa. Belum sempat petunjuk mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya diterbitkan Peraturan Pemerintah itu telah diajukan judicial review oleh Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI) dan diputuskan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan dan mencabut beberapa pasal yang menjadi roh dari PP tersebut.

Pasal 1
Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari tranksaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 2
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebesar 2,5 % (dua koma lima persen) dari marjin awal.

Pasal 3
(1) lembaga kliring dan penjaminan wajib memungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat menerima penyetoran marjin awal oleh pialang atau anggota bursa.
(2) Lembaga kliring dan penjamin wajib menyetor seluruh pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(3) Lembaga kliring dan penjamin wajib menyampaikan laporan pemungutan dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Kantor Pelayanan Pajak.

Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2009 tersebut Mahkamah Agung telah memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mambatalkan dan mencabut Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5.

Apa konsekuensinya?

PP 17 Tahun 2009 masih ada.

Putusan Mahkamah Agung hanya merintahkan untuk membatalkan dan mencabut Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5. Dengan demikian PP 17 Tahun 2009 tetap hidup, yaitu dengan Pasal 1 dan Pasal 4. Ketentuan bahwa atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenakan PPh yang bersifat final tetap masih hidup (Pasal 1).
Akan tetapi dengan dibatalkannya Pasal 2 yang menetapkan besarnya tarif , Pasal 3 yang menetapkan pihak yang memungut , dan Pasal 5 yang mengatur mulai berlaku maka otomatis Peraturan Pemerintah tersebut tidak dapat dieksekusi/dijalankan.
Selanjutnya bagaimana terhadap penghasilan dari transkasi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa. Tentu saja tidak akan dikenakan pemotongan final, "la wong tarif, pemungut, dan kapan berlakunya ketentuannya tidak ada", tetapi atas penghasilan tersebut tetap harus dilaporkan dan dikenakan tarif umum Pasal 17 UU PPh.

Bagaimana dengan PPh Final yang terlanjur dipungut

Jika pengenaan PPh Final atas transaksi derivatif dibatalkan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan PPh Final yang sudah terlanjur dipungut. Bukankah PPh Final tersebut tidak seharusnya dipungut.
Dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP diatur bahwa "berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Selanjutanya aturan pelaksana dari pasal tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelabihan Pembayaran yang Seharusnya tidak Terutang.
Dengan mendasarkan pada ketentuan tersebut maka PPh Final yang terlanjur dipungut tersebut dapat dimintakan kembali oleh pihak yang dipungut melalui pemungut. Untuk lebih jelasnya bagaimana mekanisme permohonannya dapat dipelajari pada PMK tersebut.



Tidak ada komentar: