Senin, 21 Juni 2010

Jasa Catering, Objek Pasal 23 atau Pasal 21

Sebenarnya topik ini semula tidak terbayangkan di kepala saya, kenapa? karena saya kira ini semua sudah jelas. Tetapi saya jadi tergelitik untuk menuliskan di blog ini karena sewaktu jadi fasilitator untuk diklat PPh tingkat menengah di Pusdiklat Pajak pertanyaan tersebut muncul dan sempat jadi perdebatan. Asal muasalnya ternyata di lapangan jasa katering ini dalam prakteknya dimasukkan ke dalam objek PPh Pasal 23. Dari informsi peserta diklat, ternyata sudah jadi praktek umum bahwa atas jasa katering akan dipotong PPh Pasal 23, si pemotong akan otomatis memotong PPh Pasal 23 sebesar 2 % dari jumlah bruto yang dibayarkan kepada penyedia jasa katering. Nah untuk menjelaskan apakah benar jasa katering selalu menjadi objek PPh Pasal 23 atau tidak, ada baiknya dikembalikan kepada ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
"pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh..."
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
"atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong oleh pihak yang wajib membayarakan sebesar 2 % (dua persen) dari jumlah bruto"
Jasa katering termasuk dalam jasa lain yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008.
Dari kedua pasal dalam UU PPh tersebut dapat disimpulkan bahwa:
  1. atas penghasilan dari jasa yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi akan dikenai pemotongan PPh Pasal 21 oleh pengguna jasa yang merupakan pemotong PPh Pasal 21;
  2. penghasilan dari jasa yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 adalah penghasilan dari jasa yang ada dalam list Pasal 23 yang dilakukan oleh wajib pajak badan dalam negeri.
sekarang bagaimana dengan jasa katering, jasa tersebut merupakan salah satu jasa yang ada dalam list jasa lain dalam Pasal 23, apakah akan otomatis merupakan objek PPh Pasal 23. Belum tentu, karena bisa jadi penyedia jasa katering adalah wajib pajak orang pribadi. Bila penyedia jasa katering adalah wajib pajak orang pribadi maka seharusnya merupakan objek PPh Pasal 21, bukan merupakan objek PPh Pasal 23. Jasa katering termasuk objek PPh Pasal 23 jika penyedia jasanya adalah wajib pajak badan dalam negeri.
Pertanyaan selanjutnya adalah jika jasa katering yang dilakukan oleh orang pribadi merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21, bagaimana menghitung PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh pemotong?
Dalam praktek umumnya penyedia jasa katering ini akan masuk dalam skema pemotongan PPh Pasal 21 untuk "bukan pegawai" (tidak pernah penulis menemui penyedia jasa katering merupakan pegawai tetap atau pegawai tidak tetap dari pemberi kerja, atau pun sebagai peserta kegiatan), yaitu:
  1. DPP pemotongan pasal 21-nya adalah 50 % dari jumlah penghasilan bruto (kumulatif);
  2. bila penyedia jasa menerima penghasilan yang bersifat berkesinambungan (lebih dari satu kali dari pemberi kerja) maka berhak mendapatkan PTKP bulanan, dengan syarat memiliki NPWP dan memperoleh penghasilan hanya dari pemberi kerja tersebut.
dalam hal penyedia jasa katering dalam memberikan jasanya kepada pemberi kerja:
  • mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji dan upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
  • melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan meterial atau barang.
pengecualian pembayaran gaji/upah pegawai, material, barang dari jumlah bruto penghasilan yang diterima penyedia jasa katering sepertinya akan mengalami kesulitan, kesulitan utama yang dihadapi adalah dari aspek pembuktian. Kemudian substansi dari jasa katering adalah barang itu sendiri. Dalam praktek yang lazim besarnya jumlah pembayaran atas jasa katering dihitung berdasarkan jumlah porsi makanan/minuman yang dipesan pemberi kerja dan sudah termasuk waiter/pramusaji.
pengecualian dari penghasilan bruto di atas rasanya akan lebih tepat diterapkan untuk kelompok bukan pegawai lainnya.


Selasa, 08 Juni 2010

PPh Pasal 22 Bendaharawan

Bendaharawan sebagai pemungut PPh Pasal 22 ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 245/KMK.03/2001 ttg Penunjukkan Pemungut PPh Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya s.t.d.t.d PMK 210/PMK.03/2008 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 417/PJ./2001 tentang Petunjuk Pemungutan PPh Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut bendahara yang dimaksud adalah bendahara pada:
  1. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendaharawan Pemerintah baik ditingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
  2. Badan usaha milik negara dan Badan usaha milik daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 3;
  3. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
Bendahara mempunyai kewajiban melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembayaran dari pembelian barang, yaitu sebesar 1,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN. Pemungutan yang dilakukan oleh bendahara dilakukan pada saat melakukan pembayaran atas pembelian barang. Hasil dari pemungutan PPh Pasal 22 tersebut harus disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos pada hari yang sama dengan dilakukannya pembayaran tersebut.
Penyetoran yang dilakukan oleh bendahara atas pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama rekanan (penjual) yang telah ditandatangani oleh bendahara. SSP tersebut merupakan bukti pemungutan PPh Pasal 22 untuk rekanan (penjual).
Setelah melakukan pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22, kewajiban selanjutnya yang harus dilakukan oleh bendahara adalah melaporkan hasil pemungutan yang telah disetorkan tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana bendahara tersebut terdaftar. Pelaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22 dan dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Pengecualian dari pemengutan PPh Pasal 22 oleh bendahara adalah dalam hal pembayaran :
  1. jumlahnya paling banyak 1.000.000 rupiah dan tidak merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
  2. untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum (PDAM), dan benda-benda pos;
  3. dana jaringan pengaman sosial (JPS) oleh kantor pelayanan perbendaharaan dan kas negara;
  4. pembelian gabah, dan/atau beras oleh BULOG.
Yang perlu dicermati dari ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 oleh bendahara adalah istilah "pemungutan" itu sendiri. Jika mau konsisten harusnya ketentuan PPh Pasal 22 atas bendahara ini adalah pemotongan PPh Pasal 22, mengapa demikian?
Pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh bendahara sebenarnya adalah pemotongan. Jika memang pemungutan, seharusnya penjual menerima pembayaran dengan jumlah yang sama dengan harga barang itu sendiri (sama seperti perhitungan PPN), tetapi dalam pemungutan PPh Pasal 22, penjual menerima pembayaran setelah dikurangi/dipotong sebesar 1,5 % dari harga barang). contoh: bendahara melakukan pembelian komputer senilai 6 juta rupiah, maka total pembayaran yang diterima oleh penjual adalah sebesar 5.920.000 rupiah (6 juta - (1,5 % x 6juta). Dalam hal ini bendahara memungut PPN sebesar 600.000 rupiah dan PPh Pasal 22 sebesar 80.000 rupiah. Nah jelaskan bahwa pada dasarnya itu bukan pemungutan tetapi seharusnya pemotongan.
Terlepas dari itu semua ketentuan telah menyebutkan bahwa PPh Pasal 22 adalah pemungutan, dan nyata-nyatanya sekian lama istilah itu digunakan tetap tidak diubah. Dengan demikian saya berkesimpulan penggunaan istilah tersebut tidak terlalu dipermasalahkan.