Kamis, 04 November 2010

Definisi Jasa Katering

Mungkin bagi sebagaian pembaca bertanya-tanya apa pentingnya permasalahan ini, apa pentingnya mendefiniskan jasa katering dalam pengenaan pajak. Jasa katering atau jasa boga dalam pengenaan pajaknya memang agak sedikit unik, disadari atau tidak atas jenis jasa ini sering terjadi kesalalahan dalam pengenaan PPhnya. Seperti sudah saya jelaskan dalam tulisan saya sebelumnya bahwa dilapangan ternyata terjadi perbedaan pendangan atas jenis jasa katering ini, apakah dikenakan PPh Pasal 23 ataukah PPh Pasal 21. Ternyata dalam praktek pengenaan pajak oleh bendahara terjadi pula kebingungan atas pemotongan/pemungutan atas jasa katering ini, apakah dipungut PPh Pasal 22 atau dipotong PPh Pasal 23, lho kok.....?

Pertanyaan seperti itu pertama saya temuai ketika mengajar DTSS PPh Tingkat Dasar di Pusdiklat Pajak. Ada seorang teman bertanya kalo bendahara beli kue di bakery misalnya apakah harus dipungut PPh Pasal 22 atau dipotong PPh Pasal 23?

Waktu itu saya dengan santainya saya menjawab kalo itu dikenakan pemungutan PPh Pasal 22. Tetapi kemudian ada pertanyaan dari teman di kantor yang bertanya jika bendahara memesan kue pada suatu bakery untuk rapat dalam kotak snack yang harga satu kotak snack itu sekitar Rp 21.000 dan bendahara memesan sebanyak 100 kotak, bendahara tersebut apakah harus memungut PPh Pasal 22 ataukah memotong PPh Pasal 23 atas jasa katering.

Usut punya usut ternya pertanyaan itu muncul dikarenakan teman tadi mendefinisikan jasa boga/katering sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu:
  1. usaha yang melayani pesanan hidangan untuk pesta, pertemuan, dsb;
  2. pemasok hidangan untuk pesta, pertemuan, dsb.
dengan mengacu pada definisi tersebut, maka kasus yang ditanyakan teman tadi bisa juga termasuk jasa boga/katering.

Penasaran dengan kasus tadi, saya berusaha mencari apa sih sebenarnya definisi jasa boga atau jasa katering dalam ketentuan Perpajakan terutama Pajak Penghasilan. Pengertian dari jasa boga atau jasa katering memang tidak disebut secara jelas dalam ketentuan Perpajakan. Di dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-34/PJ/2003 tentang Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak pada KLU 55260 disebukan jasa boga (katering):

Kelompok ini mencakup jenis usaha penjualan makanan jadi (siap konsumsi) yang terselenggara melalui pesanan-pesanan untuk kantor, perayaan, pesta, seminar, rapat dan sejenisnya. Biasanya makanan jadi yang dipesan di antar ke tempat kerja, pesta, seminar, rapat dan sejenisnya beserta pramusaji yang akan melayani tamu-tamu peserta seminar atau rapat pada saat pesta seminar berlangsung. Termasuk dalam kelompok ini jasa boga yang melayani pesawat angkutan udara, tempat pengeboran minyak dan lokasi penggergajian kayu.

Nah, dengan mengutip pengertian yang ada di KLU 55260, maka jelas sudah jawaban atas pertanyaan temen saya di atas. Jasa boga (katering) yang dimaksudkan oleh ketentuan perpajakan lebih terfokus pada jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilakukan oleh pengusaha jasa boga (katering) yang dilakukan dengan secara paket untuk suatu acara bersama pramusajinya.





Minggu, 18 Juli 2010

PPh Pasal 15

Pasal 15 UU PPh mengamanahkan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu. Alasan dari diberikan Norma Penghitungan Khusus bagi wajib pajak tertentu adalah kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut (perhitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) UU PPh). Golongan Wajib Pajak tertentu tersebut antara lain:
  1. perusahaan pelayaran dalam negeri;
  2. perusahaan penerbangan dalam negeri;
  3. perusahaan penerbangan dan/atau pelayaran luar negeri;
  4. Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai perwakilan dagang di Indonesia;
  5. Wajib Pajak yang melakukan usaha maklon internasional dengan produk mainan anak.
Dalam penjelasan Pasal 15 UU PPh selain kelima golongan di atas, disebutkan juga perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas, dan panas bumi, serta perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (build, operate, and transfer). Dalam pengaturan lebih lanjut perusahaan asuransi luar negeri masuk dalam pengaturan PPh Pasal 26 (KMK 624/KMK.04/1994), karyawan dari perusahaan pengeboran minyak, gas, dan panas bumi masuk dalam ketentuan Pasal 21 (KMK 715/KMK.04/1984), sedangkan untuk perusahaan BOT lebih tepatnya termasuk dalam ketentuan pengalihan hak atas tanah dan bangunan (KMK 248/KMK.04/1995).

Yang perlu dicermati dalam ketentuan Pasal 15 UU PPh ini adalah bahwa tarif dan sifat pengenaan PPh untuk penghasilan dari golongan tertentu tersebut telah ditentukan oleh Menteri Keuangan. Walaupun sebenarnya kewenangan Menteri Keuangan hanya sebatas menentukan Norma Penghitungan Khusus untuk golongan tertentu tersebut. Untuk lebih jelasnya, pengenaan PPh Pasal 15 saya rangkumkan dalam tabel di bawah:


Senin, 21 Juni 2010

Jasa Catering, Objek Pasal 23 atau Pasal 21

Sebenarnya topik ini semula tidak terbayangkan di kepala saya, kenapa? karena saya kira ini semua sudah jelas. Tetapi saya jadi tergelitik untuk menuliskan di blog ini karena sewaktu jadi fasilitator untuk diklat PPh tingkat menengah di Pusdiklat Pajak pertanyaan tersebut muncul dan sempat jadi perdebatan. Asal muasalnya ternyata di lapangan jasa katering ini dalam prakteknya dimasukkan ke dalam objek PPh Pasal 23. Dari informsi peserta diklat, ternyata sudah jadi praktek umum bahwa atas jasa katering akan dipotong PPh Pasal 23, si pemotong akan otomatis memotong PPh Pasal 23 sebesar 2 % dari jumlah bruto yang dibayarkan kepada penyedia jasa katering. Nah untuk menjelaskan apakah benar jasa katering selalu menjadi objek PPh Pasal 23 atau tidak, ada baiknya dikembalikan kepada ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
"pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh..."
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
"atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong oleh pihak yang wajib membayarakan sebesar 2 % (dua persen) dari jumlah bruto"
Jasa katering termasuk dalam jasa lain yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008.
Dari kedua pasal dalam UU PPh tersebut dapat disimpulkan bahwa:
  1. atas penghasilan dari jasa yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi akan dikenai pemotongan PPh Pasal 21 oleh pengguna jasa yang merupakan pemotong PPh Pasal 21;
  2. penghasilan dari jasa yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 adalah penghasilan dari jasa yang ada dalam list Pasal 23 yang dilakukan oleh wajib pajak badan dalam negeri.
sekarang bagaimana dengan jasa katering, jasa tersebut merupakan salah satu jasa yang ada dalam list jasa lain dalam Pasal 23, apakah akan otomatis merupakan objek PPh Pasal 23. Belum tentu, karena bisa jadi penyedia jasa katering adalah wajib pajak orang pribadi. Bila penyedia jasa katering adalah wajib pajak orang pribadi maka seharusnya merupakan objek PPh Pasal 21, bukan merupakan objek PPh Pasal 23. Jasa katering termasuk objek PPh Pasal 23 jika penyedia jasanya adalah wajib pajak badan dalam negeri.
Pertanyaan selanjutnya adalah jika jasa katering yang dilakukan oleh orang pribadi merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21, bagaimana menghitung PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh pemotong?
Dalam praktek umumnya penyedia jasa katering ini akan masuk dalam skema pemotongan PPh Pasal 21 untuk "bukan pegawai" (tidak pernah penulis menemui penyedia jasa katering merupakan pegawai tetap atau pegawai tidak tetap dari pemberi kerja, atau pun sebagai peserta kegiatan), yaitu:
  1. DPP pemotongan pasal 21-nya adalah 50 % dari jumlah penghasilan bruto (kumulatif);
  2. bila penyedia jasa menerima penghasilan yang bersifat berkesinambungan (lebih dari satu kali dari pemberi kerja) maka berhak mendapatkan PTKP bulanan, dengan syarat memiliki NPWP dan memperoleh penghasilan hanya dari pemberi kerja tersebut.
dalam hal penyedia jasa katering dalam memberikan jasanya kepada pemberi kerja:
  • mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji dan upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
  • melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan meterial atau barang.
pengecualian pembayaran gaji/upah pegawai, material, barang dari jumlah bruto penghasilan yang diterima penyedia jasa katering sepertinya akan mengalami kesulitan, kesulitan utama yang dihadapi adalah dari aspek pembuktian. Kemudian substansi dari jasa katering adalah barang itu sendiri. Dalam praktek yang lazim besarnya jumlah pembayaran atas jasa katering dihitung berdasarkan jumlah porsi makanan/minuman yang dipesan pemberi kerja dan sudah termasuk waiter/pramusaji.
pengecualian dari penghasilan bruto di atas rasanya akan lebih tepat diterapkan untuk kelompok bukan pegawai lainnya.


Selasa, 08 Juni 2010

PPh Pasal 22 Bendaharawan

Bendaharawan sebagai pemungut PPh Pasal 22 ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 245/KMK.03/2001 ttg Penunjukkan Pemungut PPh Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya s.t.d.t.d PMK 210/PMK.03/2008 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 417/PJ./2001 tentang Petunjuk Pemungutan PPh Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya. Dalam ketentuan-ketentuan tersebut bendahara yang dimaksud adalah bendahara pada:
  1. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendaharawan Pemerintah baik ditingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
  2. Badan usaha milik negara dan Badan usaha milik daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 3;
  3. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
Bendahara mempunyai kewajiban melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembayaran dari pembelian barang, yaitu sebesar 1,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN. Pemungutan yang dilakukan oleh bendahara dilakukan pada saat melakukan pembayaran atas pembelian barang. Hasil dari pemungutan PPh Pasal 22 tersebut harus disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos pada hari yang sama dengan dilakukannya pembayaran tersebut.
Penyetoran yang dilakukan oleh bendahara atas pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama rekanan (penjual) yang telah ditandatangani oleh bendahara. SSP tersebut merupakan bukti pemungutan PPh Pasal 22 untuk rekanan (penjual).
Setelah melakukan pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22, kewajiban selanjutnya yang harus dilakukan oleh bendahara adalah melaporkan hasil pemungutan yang telah disetorkan tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana bendahara tersebut terdaftar. Pelaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22 dan dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Pengecualian dari pemengutan PPh Pasal 22 oleh bendahara adalah dalam hal pembayaran :
  1. jumlahnya paling banyak 1.000.000 rupiah dan tidak merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
  2. untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum (PDAM), dan benda-benda pos;
  3. dana jaringan pengaman sosial (JPS) oleh kantor pelayanan perbendaharaan dan kas negara;
  4. pembelian gabah, dan/atau beras oleh BULOG.
Yang perlu dicermati dari ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 oleh bendahara adalah istilah "pemungutan" itu sendiri. Jika mau konsisten harusnya ketentuan PPh Pasal 22 atas bendahara ini adalah pemotongan PPh Pasal 22, mengapa demikian?
Pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh bendahara sebenarnya adalah pemotongan. Jika memang pemungutan, seharusnya penjual menerima pembayaran dengan jumlah yang sama dengan harga barang itu sendiri (sama seperti perhitungan PPN), tetapi dalam pemungutan PPh Pasal 22, penjual menerima pembayaran setelah dikurangi/dipotong sebesar 1,5 % dari harga barang). contoh: bendahara melakukan pembelian komputer senilai 6 juta rupiah, maka total pembayaran yang diterima oleh penjual adalah sebesar 5.920.000 rupiah (6 juta - (1,5 % x 6juta). Dalam hal ini bendahara memungut PPN sebesar 600.000 rupiah dan PPh Pasal 22 sebesar 80.000 rupiah. Nah jelaskan bahwa pada dasarnya itu bukan pemungutan tetapi seharusnya pemotongan.
Terlepas dari itu semua ketentuan telah menyebutkan bahwa PPh Pasal 22 adalah pemungutan, dan nyata-nyatanya sekian lama istilah itu digunakan tetap tidak diubah. Dengan demikian saya berkesimpulan penggunaan istilah tersebut tidak terlalu dipermasalahkan.



Kamis, 27 Mei 2010

PPh atas Transaksi Derivatif, hidup tak mampu matipun segan

Ha ha.....ini dia aturan pajak atau boleh dibilang pengenaan pajak yang lucu bin aneh.
Pajak Penghasilan atas Transakasi Derivatif, hidup tak mampu matipun segan. Yah begitulah nasib yang harus dijalani Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa. Belum sempat petunjuk mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya diterbitkan Peraturan Pemerintah itu telah diajukan judicial review oleh Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI) dan diputuskan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan dan mencabut beberapa pasal yang menjadi roh dari PP tersebut.

Pasal 1
Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari tranksaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 2
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebesar 2,5 % (dua koma lima persen) dari marjin awal.

Pasal 3
(1) lembaga kliring dan penjaminan wajib memungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat menerima penyetoran marjin awal oleh pialang atau anggota bursa.
(2) Lembaga kliring dan penjamin wajib menyetor seluruh pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(3) Lembaga kliring dan penjamin wajib menyampaikan laporan pemungutan dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Kantor Pelayanan Pajak.

Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2009 tersebut Mahkamah Agung telah memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mambatalkan dan mencabut Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5.

Apa konsekuensinya?

PP 17 Tahun 2009 masih ada.

Putusan Mahkamah Agung hanya merintahkan untuk membatalkan dan mencabut Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5. Dengan demikian PP 17 Tahun 2009 tetap hidup, yaitu dengan Pasal 1 dan Pasal 4. Ketentuan bahwa atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenakan PPh yang bersifat final tetap masih hidup (Pasal 1).
Akan tetapi dengan dibatalkannya Pasal 2 yang menetapkan besarnya tarif , Pasal 3 yang menetapkan pihak yang memungut , dan Pasal 5 yang mengatur mulai berlaku maka otomatis Peraturan Pemerintah tersebut tidak dapat dieksekusi/dijalankan.
Selanjutnya bagaimana terhadap penghasilan dari transkasi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa. Tentu saja tidak akan dikenakan pemotongan final, "la wong tarif, pemungut, dan kapan berlakunya ketentuannya tidak ada", tetapi atas penghasilan tersebut tetap harus dilaporkan dan dikenakan tarif umum Pasal 17 UU PPh.

Bagaimana dengan PPh Final yang terlanjur dipungut

Jika pengenaan PPh Final atas transaksi derivatif dibatalkan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan PPh Final yang sudah terlanjur dipungut. Bukankah PPh Final tersebut tidak seharusnya dipungut.
Dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP diatur bahwa "berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Selanjutanya aturan pelaksana dari pasal tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelabihan Pembayaran yang Seharusnya tidak Terutang.
Dengan mendasarkan pada ketentuan tersebut maka PPh Final yang terlanjur dipungut tersebut dapat dimintakan kembali oleh pihak yang dipungut melalui pemungut. Untuk lebih jelasnya bagaimana mekanisme permohonannya dapat dipelajari pada PMK tersebut.



Pengertian Jasa, Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta PPh Pasal 23

Objek PPh Pasal 23 yang berupa jasa, sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta merupakan objek PPh yang sering ditanyakan oleh Wajib Pajak, baik pemotong atau pihak yang dipotong. Hal ini berkaitan dengan sifat objek PPh Pasal 23 tersebut yang sering disebut positif list, pemotong berkepentingan terhadap definisi objek-objek PPh Pasal 23 karena berkepentingan dengan pemotongan yang menjadi kewajibannya, jangan sampai karena ketidaktahuan bahwa jasa tertentu termasuk objek PPh Pasal 23 sehingga tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 yang pada akhirnya berujung pada sanksi. Sedangkan pihak yang dipotong perlu mendapat kejelasan apakah jasa yang dilakukan merupakan objek pemotongan Pasal 23 atau tidak.
Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d UU Nomor 36 Tahun 2008 di atur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pambayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2 % (dua persen) dari jumlah bruto atas:
  1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
  2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
ketentuan yang sering menjadi rujukan untuk mendefinisikan objek PPh Pasal 23 tersebut antara lain:
  1. lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007;
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomo 244/PMK.03/2008; dan
  3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010
SE-35/PJ/2010 menjelaskan pengertian sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan jasa yang menjadi objek PPh Pasal 23 berupa jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan. Jasa konstruksi tidak dijelaskan di SE-35/PJ/2010 karena merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang dijelaskan dalam PP 51 Tahun 2008 yang telah diubah dengan PP 40 Tahun 2009. Pengertian yang dijelaskan dalam SE-35/PJ/2010 ini tidak jauh berbeda dengan pengertian yang ada dalam lampiran PER-70/PJ/2007, hanya definisi sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang berubah banyak. Sedangkan PMK 244/PMK.03/2008 mengatur jenis jasa lain yang termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dahulunya diatur dalam PER-70/PJ/2007.

Sewa dan Penghasilan Lain sehubungan dengan Penggunaan Harta

PER-70/PJ/2007
Dalam PER-70/PJ/2007 tidak ada penjelasan spesifik terkait apa yang dimaksud sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Hanya saja sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis;
  2. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dkenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
dalam lampirannya dijelaskan bahwa sewa dan penghasilan lalin sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat adalah:
  • sewa kendaraan angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan ataupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
  • sewa kendaraan milik persewaan mobil, perusahaan bus wisata yang bukan merupakan kendaraan angkutan umum yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan ataupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
  • sewa kendaraan berupa milik perusahaan yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan ataupun bulanan, berdasarkan suatu perjanjian tertulis atau tidak tertulis antara pemilik kendaraan angkutan umum dengan Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
perjanjian tertulis atau tidak tertulis merupakan kesepakatan untuk mengikatkan diri pada satu atau lebih pihak lain yang dtuangkan secara tertulis maupun lisan.

SE-35/PJ/2010
Dalam SE-35/PJ/2010 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.

Jasa Teknik

PER-70/PJ/2007
Jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi:
  • pelaksanaan suatu proyek;
  • pembuatan suatu jenis produk;
  • jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen.
SE-35/PJ/2010
Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman di bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi:
  • pemberian informasi dalam pelaksanaan proyek tertentu seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
  • pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
  • pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.

Jasa Manajemen

PER-70/PJ/2007
Jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen dengan mendapat balas jasa berupa imbalan manajemen (management fee).

SE-35/PJ/2010
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.

Jasa Konsultan

Pengertian jasa konsultan hanya terdapat dalam SE-35/PJ/2010 yang menjelaskan bahwa jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.


dengan terbitnya SE-35/PJ/2010
pengertian jasa serta sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sekarang telah jelas. Sebelumnya Wajib Pajak masih ragu untuk menentukan objek PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c karena pengertian yang ada dalam PER-70/PJ/2007 merujuk pada UU PPh Nomor 17 tahun 2000.