Selasa, 03 November 2009

Standar Pelayanan Mutasi Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Apakah anda pernah membeli tanah?atau memberli rumah?atau membeli rumah sekalian bangunannya? Nah setelah proses jual beli tersebut apakah anda mendaftarkan objek tersebut untuk mendapatkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang melingkupi wilayah tempat objek pajak tersebut berada? ada baiknya anda membaca beberapa catatan tentang pengurusan SPPT di KPP di bawah ini.
Beli Rumah atau Tanah merupakan suatu impian bagi para PNS golongan rendah seperti penulis. Memang sangatlah susah dengan gaji PNS golongan rendah mengumpulkan uang ratusan juta rupiah untuk beli rumah atau bangunan. Salah satu cara yang banyak ditempuh adalah dengan mensekolahkan SK kepangkatan untuk mendapatkan kucuran dana dari Bank atau koperasi, dengan konsekuensi harus mengurangi jatah belanja tiap bulan karena dipotong cicilan.
Dengan besarnya pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk membeli sepetak rumah atau tanah ada baiknya juga kita berhati-hati dalam melakukan transaksi dan pengurusan harta yang kita beli tersebut. Jangan sampai kita tertipu dan tidak benar dalam mengurus surat-surat yang berkaitan dengan rumah atau tanah yang kita beli.
Langkah pertama yang harus kita pastikan adalah bahwa rumah atau tanah merupakan hak milik penjual, ini bisa dilakukan dengan mengecek kebenaran surat-surat bukti kepemilikan atas rumah atau tanah tersebut di kantor kelurahan atau kecamatan setempat. Dan jangan melakukan pembayaran penuh sebelum Akta Jual Beli (AJB) selesai/atau telah dialihkan dan diserahkan atas nama anda untuk menghindari penjual ingkar dan membawa kabur uang anda.
Proses AJB
AJB merupakan bukti adanya transaksi jual beli tanah atau rumah antara penjual dan pembeli. AJB dikeluarkan oleh PPAT/Camat sebagai PPAT sementara. Penulis mencatat pada umumnya AJB ini dikeluarkan oleh Camat setempat sebagai PPAT sementara. Mungkin hal ini karena proses dari awal jual beli melibatkan pihak-pihak di kelurahan dan kecamatan (Misalnya untuk pernyataan tanah bukan sengketa dan surat keterangan tanah). Sebelum AJB diterima pembeli harus memastikan pajak-pajak yang terkait dengan proses jual beli telah diselesaikan (dibayar) diantaranya PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau bangunan dan BPHTB. PPh Pengalihan hak atas tanah dan bangunan merupakan pajak yang terutang kepada penerima penghasilan (dalam hal ini penjual) sedangkan BPHTB terutang kepada pembeli.
PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan terutang kepada penjual sebesar 5% dari nilai transaksi atau NJOP mana yang lebih tinggi dan bersifat final. Pelunasan PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dilakukan dengan penyetoran menggungkan SSP melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan untuk orang pribadi yang mempunyai penghasilan penghasilan di bawah PTKP dan melakukan pengalihan dengan nilai pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00. Pengecualian ini dilakukan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebasa (SKB) PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh KPP setempat. Untuk mendapatkan SKB tersebut penerima penghasilan mengajukan permohonan SKB ke KPP tempat orang pribadi tersebut terdaftar.
Sedangkan BPHTB merupakan kewajiban dari pembeli dan dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB). Besarnya BPHTB dihitung dengan mengalikan tarif 5 % dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). NPOPKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Besarnya NPOPTKP ditentukan untuk setiap daerah paling banyak sebesar Rp 60.000.000,00. Setelah BPHTB dilunasi dengan SSB, SSB tersebut harus diteliti/divalidasi KPP.
Mutasi Objek PBB (Mutasi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang/SPPT)
Setelah Proses AJB selesai tentulah anda ingin SPPT atas rumah atau tanah anda berganti menjadi nama anda (mutasi). Untuk mengurus mutasi tersebut sangatlah mudah. Anda tinggal datang ke KPP setempat (KPP tempat rumah atau tanah anda berada). Di KPP anda akan dibantu untuk mengisi formulir mutasi objek PPB dan dokumen-dokumen yang harus dilampirkan, antara lain:
  1. fotokopi AJB;
  2. fotokopi SPPT;
  3. fotokopi Surat Tanda Terima Setoran (STTS)
  4. fotokopi SSB;
  5. fotokopi SSP PPh/SKB;
  6. fotokopi KTP/KK anda.
  7. fotokopi NPWP bila sudah berNPWP
dan urusan pun beres.

catatan:
untuk pelayanan SKB paling lama 5 hari (Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-30/PJ/2009)
untuk pelayanan SPPT paling lama 5 hari (Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-40/PJ/2004)
untuk pelayanan validasi SSB paling lama 3 hari (PER-16/PJ/2008)


Kamis, 29 Oktober 2009

SE-100/PJ/2009

Selesai sudah permasalah agen asuransi dan distributor MLM yang digembor-gemborkan selama ini. Setelah terbitnya PER-57/PJ/2009 tentang perubahan PER-31/PJ/2009 yang mengatur pemotongan PPh Pasal 21 untuk kategori bukan pegawai, wakhususon untuk agen asuransi dan distributor MLM ditambah dengan SE-100/PJ/2009 tentang penggunaan norma penghitungan penghasilan neto untuk agen asuransi dan distributor MLM maka penghitungan kewajiban PPh untuk kedua pihak tersebut sudah tidak ada ganjalan lagi. Selama ini baik agen asuransi maupun distributor MLM sangat keberatan dengan skema pemotongan PPh Pasal 21 yang ada dalam PER-31/PJ/2009, begitu juga dengan penghitungan PPh dalam SPT Tahunan Orang Pribadinya. Dengan terbitnya PER-57/PJ/2009 dasar pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebesar 50 % dari Penghasilan Kena Pajak untuk imbalan yang bersifat berkesinambuangan atau 50% dari jumlah bruto untuk imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan. Demikian juga dengan dengan SE-100/PJ/2009 yang menjelaskan bahwa untuk agen asuransi dan distributor MLM boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dalam menghitung kewajiban perpajakannnya.

Memang kedua aturan itu merupakan pasangan ideal yang sangat dinantikan oleh agen asuransi maupun distributor MLM. PER-31/PJ/2009 meringankan PPh Pasal 21 yang dipotong sekaligus untuk menjaga agar pada akhir tahun tidak lebih bayar, sedangkan SE-100/PJ/2009 menjelaskan kerumitan tentang pengakuan biaya yang harus diakui sebagai pengurang penghasilan. SE-100/PJ/2009 menjelaskan bahwa agen asuransi dan distributor MLM dapat menghitung penghasilan neto yang akan menjadi dasar pengenaan pajak dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan neto.

Dalam butir 2 SE-31/PJ/2009 disebutkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi dengan profesi:
  1. petugas dinas luar asuransi yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung;
  2. distributor perusahaan MLM atau direct selling yang kegiatannya melakukan:
  • penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling; dan/atau
  • pengembangan jaringan usaha MLM atau direct selling,
termasuk dalam kategori Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sepanjang petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan MLM atau direct selling tersebut tidak berstatus sebagai pegawai dari perusahaan terkait.

Lebih lanjut dalam butir 4 dijelaskan bahwa Presentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi petugas dinas luar asuransi dan distributor Perusahaan MLM atau direct selling adalah sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ/2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan, dengan penegasan sebagai berikut:
  1. petugas dinas luar asuransi diklasifikasikan dalam jenis usaha "pekerjaan bebas bidang profesi lainnya".
  2. distributor perusahaan MLM atau direct selling diklasifikasikan dalam jenis usaha sebagai berikut:
  • atas penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha "perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan";
  • atas pengembangan jaringan usaha MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha "pekerjaan bebas bidang profesi lainnya".
terlepas dari itu semua, saya terhenyak dengan munculnya PER-57/PJ/2009 dan SE-100/PJ/2009 tersebut. Bagaimana tidak dibalik itu semua maka yang menderita adalah Direktorat Jenderal Pajak itu sendiri. DJP akan kehilangan penerimaan dalam jumlah yang tidak sedikit, begitu pula dengan kerja para account representative di Kantor Pelayanan Pajak yang akan semakin terbebani dikarenakan banyaknya pembetulan SPT Masa Pasal 21 dari para pemotong.
Semoga saja itu semua merupakan jalan terbaik, sesuai dengan tujuan pemerintah untuk menjunjung keadilan dan menunjang pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan rakyat.



Rabu, 22 Juli 2009

PPh atas Agen Asuransi

Perlakuan PPh atas Agen Asuransi merupakan pengenaan PPh yang paling membingungkan penerapannya. Hal ini terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan dalam Sosialisasi Per-31, Per-32, dan Stimulus PPh Pasal 21 yang dilakukan Subdit Peraturan Potput PPh dan PPh OP Direktorat Peraturan Perpajakan II di Kantor Pusat DJP untuk para pemeriksa dan AR seluruh jakarta. Dari dua sesi yang disediakan panitia hampir kesemuanya menanyakan tentang perlakuan perpajakan untuk agen asuransi. Pertanyaan yang mendasar dari perlakuan perpajakan untuk agen asuransi adalah apakah agen asuransi termasuk pegawai ataukah melakukan pekerjaan bebas. Hal itu akan memicu konsekuensi hukum yang sangat berbeda. Jika termasuk dalam melakukan pekerjaan bebas berarti agen asuransi salah satunya dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dalam menghitung kewajiban pajaknya.
Jawaban yang disajikan umumnya berupa kondisional, hal tersebut dikarenakan memang pihak Subdit Peraturan Potput PPh dan PPh OP berhati-hati dalam mengambil keputusan. Lagipula untuk tiap-tiap agen asuransi kondisinya berbeda-beda, sehingga penentuan status dan pengenaan pajaknya diserahkan kepada para petugas dilapangan yaitu pemeriksa dan Account Representative (AR).
Pada pokoknya penentuan apakah agen asuransi termasuk pegawai atau melakukan pekerjaan bebas mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Pada Pasal 1 butir 24 disebutkan bahwa pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. Dengan adanya ketentuan tersebut berarti yang disebut melakukan pekerjaan bebas harus mempunyai dua syarat khusus, yaitu:
  1. memiliki keahlian khusus; dan
  2. tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Untuk syarat yang pertama, yaitu memiliki keahlian khusus untuk agen asuransi sepertinya syarat ini dapat terpenuhi karena adanya sertifikasi tertentu untuk agen asuransi sedangkan untuk syarat yang kedua masih dalam perdebatan.
syarat tidak terikat oleh hubungan kerja didefinisikan apabila memenuhi kualifikasi:
  1. tidak bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi dan dalam pelaksanaan tugasnya agen asuransi bebas untuk merumuskan kebijakan sendiri sehingga tidak tergantung pada kebijakan perusahaan asuransi;
  2. agen asuransi bebas untuk memberikan jasanya kepada perusahaan asuransi lain.
Jika kedua syarat tersebut dipenuhi maka agen asuransi disebut melakukan pekerjaan bebas dan dapat menghitung pengenaan pajaknya dengan norma penghasilan neto. Penggunaan norma penghasilan neto oleh agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas juga tidak bisa diterapkan oleh semua agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas. Syarat agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas yang dapat mengggunakan norma penghitungan penghasilan neto adalah:
  1. yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliyar
  2. memberitahukan mengenai penggunaan norma penghitungan penghasilan neto kepada KPP tempat wajib pajak terdaftar paling lama 3 (tiga bulan) sejak awal tahun pajak bersangkutan.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana agen asuransi yang tidak termasuk melakukan pekerjaan bebas ingin mengakui biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menjalin relasi dan closing polis asuransi dengan nasabah. Jika tidak bisa mengakui biaya berarti ada perlakuan yang tidak adil, ada agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas yang memenuhi syarat tertentu dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto yang nota bene dapat diartikan memperoleh pengurangan penghasilan atas biaya yang dikeluarkan sedangkan untuk agen asuransi yang tidak melakukan pekerjaan bebas tidak bisa mengurangkan biaya yang telah dikeluarkan.
Perlakuan tidak adil ini sebenarnya tidak ada. Bagi agen asuransi yang tidak melakukan pekerjaan bebas sehingga tidak dapat mengakui biaya lewat norma penghitungan penghasilan neto sebenarnya masih bisa mengakui biaya yang dikeluarkan terkait penghasilan yang diperoleh dengan mekanisme pencatatan biaya. Mekanisme ini sudah di atur dengan keluarnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Pasal 1, Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menyelanggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah:
  1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto; dan
  2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau melakukan pekerjaan bebas.
Pasal 3 ayat (1), pencatatan yang harus diselenggarakan oleh wajib pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b meliputi:
  1. penghasilan bruto yang diterima yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
  2. penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaannya pajaknya bersifat final.
Dengan mengacu pada pasal 3 ayat (1) PER-04/PJ/2009 berarti agen asuransi yang tidak melakukan pekerjaan bebas dapat mengakui biaya yang dikeluarkan sepanjang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yaitu dengan melakukan pencatatan atas biaya tersebut. Form pencatatan biaya tersebut juga telah disediakan sesuai dengan format yang ada dalam lampiran peraturan dirjen pajak tersebut.
Dalam kesimpulan saya berarti baik agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas maupun tidak sama-sama dapat mengakui biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Untuk agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas dan memenuhi syarat tertentu di atas dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto sedangkan agen asuransi yang tidak melakukan pekerjaan bebas dapat menggunakan mekanisme pencatatan.








Kamis, 09 Juli 2009

Kena Tarif PPh Konstruksi atau Jasa Lainnya

Dengan terbitnya PMK 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 banyak Wajib Pajak yang menanyakan apakah jasa yang diberikan kepada pengguna jasa akan dipotong sebagai pemberian jasa konstruksi ataukah termasuk pemberian jasa lainnya yang ada dalam Pasal 23 UU PPh.
Hal tersebut bersumber pada pengaturan yang ada dalam PMK 244/PMK.03/2008:

Pasal 1
Ayat 1: imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2 % (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Ayat 2: Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
r. Jasa Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
s. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transporatasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

Dengan ada PMK tersebut pertanyaan yang muncul adalah jika ada Wajib Pajak yang mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi melakukan pekerjaan instalasi atau perawatan apakah akan dikenakan pemotongan jasa konstruksi atau jasa lainnya yang ada dalam PMK 244/PMK.03/2008.
Jika akan dikenakan PPh final atas Jasa Konstruksi permasalahannya adalah bahwa jasa yang diberikan bukan merupakan jasa konstruksi, sedangkan jika akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2 % atas pemberian jasa yang termasuk jasa lainnya maka tidak bisa dilakukan karena mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
Dengan demikian jika ada pengusaha konstruksi melakukan pekerjaan instalasi atau perawatan maka tidak bisa dikenakan pemotongan atas jasa konstruksi dan juga tidak bisa dilakukan pemotongan atas jasa lainnya, sehingga atas pemberian jasa tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh.
Hal tersebut akan sejalan dengan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009, Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan selain Jasa Konstruksi.




Rabu, 08 Juli 2009

Jasa Konstruksi atau Jasa Instalasi/Pemasangan

Jasa Konstruksi dan Jasa Instalasi/Pemasangan dilihat dari jenis jasanya memang sangat berbeda. Dilihat dari namanya pun sudah sangat berbeda, konstruksi adalah menciptakan suatu bangunan sedangkan jasa pemasangan adalah memasang suatu benda kepada benda yang lainnya. Namun hal tersebut akan menjadi rumit dalam penerapan peraturan perpajakan. Wajib Pajak mungkin akan merasa bingung apakah jasa yang dilakukannya atau jasa yang diminta ke penyedia jasa merupakan jasa konstruksi atau jasa instalasi/pemasangan. Terlebih lagi kedua hal tersebut dikenai tarif yang berbeda, Jasa Konstruksi dikenai tarif final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009:
  1. 2 % (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
  2. 4 % (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
  3. 3 % (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  4. 4 % (empat pesen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  5. 6 % (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
sedangkan untuk jasa instalasi/pemasangan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2 % (dua persen) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 pasal 1 ayat (2) huruf r.

Pertanyaan seperti apakah jasa yang saya lakukan harus dipotong jasa konstruksi sebesar 3 % final ataukah harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2 % sering dialami oleh penyedia jasa yang bergerak dalam bidang jasa instalasi/pengadaan alat komunikasi yang bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi (contoh:kontrak kerja instalasi jaringan telekomunikasi antar PT Lintas Teknologi dengan PT Telkom). Penyedia Jasa sering ragu tentang pengenaan Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap jasa yang mereka berikan, sedangkan pengguna jasa langsung memotong PPh atas Jasa Konstruksi. Memang tindakan pemotong pajak bukan tanpa alasan. Pemotong pajak langsung mengenakan PPh atas Jasa Konstruksi dikarenakan penyedia jasa memiliki sertifikasi jasa pelaksaan konstruksi dengan bidang usaha elektrikal subbidang jaringan transmisi telekomunikasi dan atau telepon, termasuk perawatannya.

Pemecahan masalah ini adalah dengan melihat kontrak kerja antara pengguna dan penyedia jasa. Dalam kontrak kerja dapat dilihat apakah pekerjaan yang dilakukan termasuk pelaksanaan konstruksi ataukah tidak. Fiskus sering mendefinisikan bahwa yang termasuk jasa konstruksi adalah pemberian jasa untuk membangun suatu bangunan dari awal sampai akhir termasuk penyediaan materialnya, jika dalam kontrak tercakup hal tersebut maka dapat disebut pemberian jasa konstruksi:
1. membangun suatu bangunan dari awal sampai akhir;
2. termasuk pengadaan material.

Celakanya dalam prakteknya ketentuan tersebut sering disalahgunakan untuk menghindari pengenaan tarif pemotongan pajak yang lebih tinggi, yaitu tetap dikenakan tarif PPh Pasal 23 sebesar 2 %. Praktek ini sering dilakukan dengan kesepakatan antara penyedia jasa dan pengguna jasa dengan membuat kontrak yang dibuat agar tidak termasuk pemberian jasa konstruksi.





Senin, 23 Februari 2009

Bersiaplah Menghadapi Kematian.......?

Apakah anda ngeri melihat judul ini. Memang judul tulisan ini terkesan menakutkan, sedikitnya memang mensiratkan aroma horor di dalamnya. Tapi itulah yang sebenarnya kita hadapi setiap saat dalam kehidupan ini. Ancaman kematian terus mengikuti kapan dan kemana pun kita melangkah. Jadi kapan pun kita menarik nafas maka bersiaplah pula untuk tidak dapat melakukannya lagi.

Kematian yang mengintai kita setiap saat itu bukanlah perkara mudah bagi orang yang ditinggalkan. Kematian yang menjemput seseorang bukanlah suatu kejadian yang berdiri sendiri. Memang bagi orang yang meninggal peristiwa itu merupakan akhir dari kehidupannya. Sudah tidak ada lagi persoalan duniawi yang membebaninya lagi. Tapi bagi orang yang ditinggalkan akan banyak persoalan yang mengiringi kematian seseorang. Bagaimana kelanjutan kehidupan orang-orang yang ditinggalkan. Bagaimana nasib istri dan anak yang ditinggalkan jika sang ayah meninggal, siapa yang akan mengurus anak-anak jika sang ibu meninggal, apakah akan terjadi perebutan warisan antar anak jika orang tua meninggal. Berbagai persoalan kehidupan akan mengiringi kematian seseorang bagi oang yang ditinggalkan.

Tulisan ini tersinspirasi atas kematian seorang sahabat, tetangga, sekaligus teman sejawat bernama Edi Junaedi. Siapa mengira teman ngobrol dan momong anak itu meninggal secepat itu. Tidak ada firasat apapun kecelakaan motor akan merenggut nyawanya. Semua yang mengenal dirinyapun seolah tidak percaya. Malam sebelum kejadian aku masih melihat dirinya sibuk mempersiapkan diklat yang akan dijalani esok harinya. Ternyata malam selanjutnya aku hanya bisa melihat mobil ambulan mengantar jenazahnya ke kampung halamannya. Teman-teman semua seolah tak percaya. Berbagai perasaan menyelimuti berkecamuk tak karuan menghadapi kenyataan ini. Terlebih jika melihat istri dan anak tunggalnya yang baru berumur tiga tahun. Sepertinya tak kuasa jika melihat bagaimana bocah berumur tiga tahun itu akan terpisah dengan abinya untuk selama-lamanya.

Hal pertama yang terbersit di kepalaku adalah bagaimana nasib istri dan anaknya selanjutnya. Apakah mereka siap menghadapi dunia ini tanpa suaminya lagi. Apakah istrinya siap melanjutkan tanggung jawab suaminya atas anak tunggalnya itu. Pertanyaan itu terus berseliweran di kepalaku sampai sekarang.

Itulah kematian, tak mengenal perasaan belas kasihan. Tak peduli siapapun, apakah orang itu merupakan tulang punggung keluarga ataukah hanya seorang sampah masyarakat tetap saja, jika sudah dihampirinya maka akan disikatnya juga. Tak peduli orang-orang yang akan mendapat kesusahan atas meninggalnya seseorang yang merupakan tulung punggung keluarga, begitupun sebaliknya ia pun tak peduli jika orang yang akan dihampirinya hanyalah sampah masyarakat yang banyak orang kegirangan atas kematiannya.

Hal yang terpenting adalah jangan sampai kita mati konyol dalam menjalani kehidupan ini. Jangan sampai kita meninggal gara-gara suatu hal yang merupakan kecerobohan kita. Hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan atau bahkan hal-hal yang dilarang. Dalam menjalani hidup sudah selayaknya kita menjalaninya sebaik-baiknya. Menjalaninya sesuai ketentuan kaidah kehidupan manusia. Jangan sampai kita meninggal membawa cemoohan pada keluarga dan kesengsaraan pada orang lain. Berhati-hatila dalam menjalani hidup ini. Ingatlah selalu orang-orang yang masih menjadi tanggung jawab kita. Bagaimana seandainya jika tiba-tiba kematian menjemput kita. Selanjutanya bagaimana nantinya orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita itu menjalani hidup ini tanpa kita.

Kita semua tidak bisa menebak kapan kematian akan menjemput kita. Apakah setelah tarikan nafas ini, apakah esok, apakah lusa, entahlah tapi yang pasti kematian itu akan menghampiri kita. Apakah kita sudah siap untuk menghadapinya. Apakah tanggung jawab kita terhadap sang pencipta dan keluarga yang menjadi tanggung jawab kita sudah kita laksanakan sepenuhnya. Hanya diri kita sendiri yang bisa menjawab pertanyaan itu. Ingatlah bahwa kematian itu bisa datang kapan saja. Hati-hatilah menjalani hidup ini, jangan sampai kita belum menuntaskan segala kewajiban kita tetapi kematian terlanjur sudah mendatangi kita.

Hati-hatilah berkendara, keluarga anda menunggu di rumah.

Sabtu, 14 Februari 2009

Damai keluarga satu pengabdian

Kenangan Terakhir

inilah kenangan terakhirku sebelum meninggalkan tempat perjuanganku selama 2 tahu 1 hari di Makassar.
indah bukan...?
semua tersenyum ceria menjalani moment ini....
tak terkecuali bocah kecil yang merupakan buah cintaku,
sepertinya enggan untuk berlalu meninggalkan nuansa damai keluarga ini...
inilah kenangan perpisahan untuk melepas kepergian keluargaku dari rekan-rekan kerjaku..
untuk meneruskan perjuanganku di ibu kota negara...
semoga ikatan keluarga ini akan terus terjalin selamanya...

Saatnya berfokus untuk menaikkan gaji dan upah

Resesi ekonomi dunia telah menyebabkan banyak negara mengalami kelimbungan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi secara global mengalami penurunan drastis bahkan sampai pada titik minus. Negara-negara barat yang dulu dengan sombongnya mengagungkan kondisi ekonominya yang berkembang pesat sekarang panik menghadapi kenyataan bahwa kondisi ekonomi mereka sekarang sedang sekarat. Contoh nyata adalah kondisi ekonomi AS, beberapa perusahaan terkemuka di dunia yang bermarkas di sana seperti City Group dan General Motor tak luput dari ancaman kebangkrutan.

Kondisi ekonomi di dalam negeri setali dua uang tak jauh berbeda. Ekonomi negara ini pun mengalami cobaan berat tak kala ancaman pasar untuk produk yang akan diekspor menjadi tidak ada. Perusahaan-perusahaan yang mendasarkan pasar mereka untuk ekspor mulai mengurangi produksi bahkan tak jarang dari mereka mulai gulung tikar. Hal ini berimbas pada karyawan yang akan mengalami PHK massal. Kondisi ini sudah menjadi kenyataan pada beberapa perusahaan garmen, sepatu, dan alas kaki yang ada di wilayah Tangerang. Sementara perusahaan-perusahaan lain sudah mulai mengurangi produksi mereka. Bahkan pabrik sekelas Gajah Tunggal pun sudah menurunkan produksi mereka sampai 70 %. Di samping itu negara ini mulai kebingungan untuk mencari pinjaman dari pihak luar untuk mendanai berbagai rencana pengeluaran yang dimaksukan untuk mendorong perbaikan kondisi perekonomian. Memang wajar dalam kondisi seperti ini para kreditur akan dengan erat memegang uang mereka. Boro-boro untuk meminjamkan kepada pihak lain untuk keperluan sendiripun mungkin masih belum mencukupi.

Para pemegang tampuk kepemimpinan negara pun menghadapi kondisi seperti ini tidak tinggal diam. Berbagai kebijakan pun dikeluarkan untuk mendorong perekonomian tumbuh kembali. Seperti halnya AS dan negara-negara eropa yang mengeluarkan dana talangan untuk para pengusaha di sana. Sejumlah dana talangan disiapkan oleh pemerintah untuk menyelamatkan industri yang ada di negaranya, seperti Senat Amerika yang telah menyetujui dana talangan untuk menyelamatkan industri otomotif mereka.

Pemerintah kita pun sudah mengambil berbagai langkah untuk menyelamatkan kondisi ekonomi di negeri ini. Paket stimulus ekonomi pun diluncurkan pemerintah kita untuk mendorong perbaikan perekonomian. Mulai dari memberikan dana talangan untuk dunia perbankan, kebijakan suku bunga, kebijakan dibidang perpajakan, pemberian pinjaman untuk UMKM dan sebagainya. Pemerintah pun mulai gencar untuk memperbaiki sektor infrastruktur untuk memdorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang entah dari mana sumber pendanaannya. Yang kesemua itu ditujukan untuk perbaikan kondisi perekonomian bangsa ini.

Jika dicermati kebijakan pemerintah itu hanya terfokus pada bagaimana menjaga agar dunia usaha di negara ini tetap terjaga dan tetap tumbuh berkembang. Seperti kebijakan stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah terlihat bahwa kebijakan itu ditujukan untuk menjaga kelangsungan berbagai industri yang ada. Begitu juga dengan usaha pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur dan mendorong investasi untuk mendorong kegiatan ekonomi. Peningkatan investasi dan berbagai fasilitas kemudahan untuk berusaha akan mendorong tumbuhnya berbagai industri dan lapangan pekerjaan baru, sedangkan berbagai fasilitas infrastruktur akan semakin memudahkan industri untuk bekerja lebih efisien.

Yang menjadi permasalahan adalah apakah semua kebijakan pemerintah itu sudah cukup untuk perbaikan kondisi perekonomian negara ini. Sepertinya pemerintah melupakan satu komponen dari siklus ekonomi dalam mengatasi permasalahan ekonomi ini. Pemerintah begitu getol untuk mendorong dunia usaha untuk berkembang tetapi sepertinya melupakan kemana nantinya barang hasil industri akan dipasarkan. Dengan kondisi ekonomi dunia seperti sekarang ini jelas tidak mungkin untuk mengandalkan pasar dari luar. Akan lebih bijaksana jika berfokus pada pasar dalam negeri.

Pasar dalam negeri untuk masa sekarang ini merupakan solusi untuk mengatasi hilangnya pasar bagi dunia industri tanah air. Pasar dalam negeri tidak lain merupakan konsumsi masyarakat itu sendiri. Konsumsi masyarakat itu sendiri akan terjadi jika masyarakat memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan adanya uang yang dimiliki, masyarakat akan membelanjakannya untuk mencukupi hidup mereka. Hal ini merupakan pasar yang sangat besar bagi dunia industri.

Langkah pemerintah yang mendorong berkembangnya dunia industri adalah untuk mendorong terciptanya lapangan kerja. Dengan adanya masyarakat yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan maka pasar bagi dunia industri akan tercipta. Yang menjadi persoalan adalah apakah kebijakan pemerintah tersebut akan serta merta menciptakan pasar bagi dunia industri. Dengan kebijakan tersebut pemerintah berlogika bahwa dengan peningkatan industri akan menciptakan lapangan kerja yang akan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat yang merupakan pasar bagi industri itu sendiri. Sedangkan peningkatan infrastruktur akan mendorong efisiensi bagi dunia usaha. Memang langkah itu cukup baik, tetapi akan banyak hambatan dan persoalan yang perlu dibenahi. Mendorong agar dunia industri berkembang akan menyangkut banyak faktor yang harus diperbaiki dan mendorong dunia industri untuk berkembang memerlukan waktu yang tidak singkat.

Mungkin logika penyelesaian terbalik akan menjadi alternatif penyelesaian yang lebih baik. Maksudnya adalah bagaimana menciptakan pasar yang lebih besar secepat mungkin. Dengan kata lain bagaimana meningkatkan konsumsi masyarakat. Jika tingkat konsumsi masyarakat tinggi berarti pasarpun akan semakin besar. Pasar yang semakin besar akan dengan sendirinya mendorong industri untuk berkembang. Logika ini telah dibuktikan secara empiris melalui beberapa penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Nyoman Yuliarmi (Universitas UDAYANA) terhadap kabupaten dan kota di Provinsi Bali menghasilkan kesimpulan bahwa konsumsi rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap PDRB. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arif Mulyono (STAN) terhadap kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang menghasilkan kesimpulan bahwa komponen belanja pegawai pemerintah daerah merupakan komponen belanja yang mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap terciptanya PDRB.

Dengan fakta tersebut sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan kebijakan bagaimana menciptakan peningkatan pasar bagi dunia industri dengan meningkatkan tingkat komsunsi masyarakat. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan menaikkan tingkat pendapatan yang diperoleh masyarakat. Salah satunya adalah dengan peningkatan gaji bagi para pegawai pemerintah dan peningkatan upah minimum buruh. Dengan peningkatan penghasilan, masyarakat akan dapat menambah komsumsinya untuk memenuhi dan meningkatkan standar kehidupannya. Hal ini pada akhirnya akan menambah pasar bagi dunia industri.

Rabu, 04 Februari 2009

Mengapa meributkan fatwa haram merokok?

Beberapa hari yang lalu hampir semua media meributkan tentang adanya fatwa MUI yang melarang merokok. Hampir semua media elektronik maupun cetak menyuguhkan Headline berita yang hampir sama "merokok adalah haram". Pro dan kontra atas fatwa MUI itu pun bermunculan dari berbagai pihak dan kalangan di seluruh pelosok negeri ini yang mayoritas adalah umat muslim. Dari warung kopi, di jalan-jalan, tempat umum sampai perkantoran semua orang mengutarakan pendapat masing-masing tentang fatwa ini. Semua orang berusaha mengutarakan argumen masing-masing untuk memuaskan dan membenarkan pendapatnya.
Fatwa ini memang akan mengundang banyak kontroversi karena akan menyangkut kepentingan banyak pihak. Sampai-sampai wapres JK juga berkomentar agar fatwa ini mempertimbangkan aspek ekonominya. Fatwa ini akan menyangkut kepentingan para perokok dan masyarakat sekitarnya serta para pengusaha rokok beserta para karyawannya. Para perokok akan terancam tidak bisa menikmati rokok dimana saja sepuasnya. Sedangkan para pengusaha akan terancam gulung tikar jika omzet mereka turun drastis. Di sisi lain pemerintah juga seperti tidak rela jika fatwa ini di keluarkan. Dramatis memang posisi pemerintah dalam hal ini. Pemerintah sepertinya sayang jika harus kehilangan tambahan pendapatan dari cukai rokok tapi di sisi lain juga harus berkewajiban untuk menyehatkan masyarakatnya.
Fatwa ini sempat membuat khawatir para buruh pabrik rokok dan petani tembakau. Bahkan beberapa daerah di Jawa Tengah dengan terang-terangan menolok fatwa ini. Ancaman PHK mungkin sudah terbayang di depan mata mereka. Ini berarti gelombang tambahan pengangguran akan melanda negeri ini. Dari data yang ada lebih dari 4.200.000 orang bekerja pada sektor ini. Hal ini disebabkan perkiraan turunnya produksi karena hilangnya pasar bagi industri rokok. Perlu dicatat bahwa industri rokok tanah air hampir seluruh produksinya di pasarkan di dalam negeri. Dengan adanya fatwa MUI tersebut diperkirakan pasar akan hilang dengan asumsi bahwa seluruh umat muslim di negeri ini akan patuh terhadap fatwa tersebut.
Di lain pihak fatwa MUI ini akan dirasakan sebagai angin segar bagi orang yang tidak menyukai rokok. Mereka membayangkan akan mendapatkan udara yang bebas dari asap rokok terutama di tempat-tempat umum. Mereka pun bersyukur karena akan dapat hidup lebih sehat karena tidak lagi menjadi perokok pasif.
Tapi apakah semua perkiraan dan ketakutan itu sampai sekarang sudah terbukti. Ternyata tidak, sampai sekarang produsen rokok tetap berproduksi pada kapasitas yang sudah ada bahkan mereka memperkirakan bahwa produksi mereka ke depan akan semakin meningkat. mereka beranggapan bahwa fatwa MUI yang mengharamkan merokok tidak akan berpengaruh terhadap pasar mereka. Mereka beranggapan bahwa larangan semacam itu sudah ada sejak lama tetapi pasar mereka tetap meningkat. Fatwa yang menyatakan bahwa merokok haram bagi anak-anak, remaja, wanita hamil, serta merokok di tempat umum identik dengan tiap peringatan tentang bahaya merokok yang mereka tempelkan pada tiap kemasan rokok. Lebih jauh lagi larangan merokok di tempat umum sudah ada Perda yang mengatur dan memberikan sangsi untuk pelanggarnya. Toh kesemua itu tetap tidak mengurangi minat para perokok untuk menghentikan kebiasaan mereka. Di tempat-tempat dan pihak-pihak yang semula kita berharap terbebas dengan asap rokok ternyata tidak berubah sama sekali. Masih seperti sebelum adanya fatwa yang mengharamkan merokok.
Sungguh ironi, bangsa ini yang sebagian besar adalah Umat Islam masih memperdebatkan (kalo tidak mau disebut menolak) fatwa yang dikeluarkan MUI. Hal ini dibuktikan dengan susahnya para perokok menerima fatwa MUI tersebut dengan ikhlas bahkan mereka berargumen untuk menolak fatwa MUI tersebut. Bukti lainnya adalah bahwa pasar rokok tidak berkurang sama sekali. Sungguh mencengangkan adanya penolakan fatwa MUI. Apakah ancaman berbagai penyakit yang mengancam mereka tidak lagi diindahkan. Lebih lanjut apakah dosa dari perbuatan haram yang mereka lakukan sudah tidak lagi menakutkan. Entah apa yang terjadi pada para perokok yang sebagian besar umat muslim.
Jika Fatwa MUI saja sudah diperdebatkan untuk ditolak berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa umat muslim di negeri ini sudah mengalami kemerosotan iman. Umat muslim di negeri ini sudah tidak mau lagi mempercayai para ahli-ahli agama yang ada di sekitar mereka demi memuaskan nafsu mereka. Bukanlah MUI beranggotan orang-orang yang ahli agama, tapi kenapa masih ditentang juga. Apakah mereka merasa lebih ahli dari para anggota MUI. Ataukah hanya sekadar memuaskan hasrat merokok sehingga menolak fatwa MUI tersebut. Layaknya jika kita berani menolak fatwa didasari dengan dasar hukum yang kuat.
Jika fatwa MUI tersebut dicermati seperti semua itu demi kebaikan bersama. Apakah susahnya meninggalkan merokok demi kebaikan dan kesehatan bersama. Yang merokok pun akan sehat dan kelihatan bersih sedangkan orang disekitarnya pun tidak merasa terganggu.
Fatwa MUI menyatakan bahwa merokok untuk anak-anak, remaja, wanita hamil, dan merokok di tempat-tempat umum adalah haram sedangkan hukum merokok secara umum dinyatakan khilaf. Hal ini berarti terjadi perbedaan pendapat antara para ulama tentang hukum merokok secara umum antara haram dan makruh. Tentang hal ini sebaiknya umat muslim mengambil jalan safety, lebih baik meninggalkan merokok. Meninggalkan merokok akan lebih baik karena seandainya pendapat merokok adalah haram ternyata adalah pendapat yang benar berarti kita tidak melakukan tindakan yang dilarang Alloh. Sebaliknya, jika kita tetap bersikukuh untuk merokok sedangkan ternyata pendapat merokok adalah haram ternyata merupakan pendapat yang benar berarti kita melakukan tindakan yang berdosa.




Sabtu, 24 Januari 2009

Penempatan D IV STAN

Bagi mahasiswa STAN penempatan setelah selesai kuliah merupakan hal utama dan tujuan hidup mereka. Bagaimana tidak, penempatan merupakan jalan utama yang akan menentukan jalan hidup mereka. Bahkan kawan-kawan berkata penempatan pertama kita akan menentukan rejeki, karier, kehidupan, dan bahkan akan menentukan jodoh kita kelak. Tidak disangkal lagi semua strategi dan usaha mereka kerahkan demi untuk mencapai penempatan di kantor yang mereka inginkan. Entah itu mahasiswa DI, DIII, DIII Khusus, atau DIV mereka akan selalu mengimpikan bekerja di tempat yang mereka inginkan.
Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana otoritas yang berwenang akan menentukan kemana mereka akan "ditendang" setelah selesai dari pendidikan mereka. Tidak jadi masalah bagi anak-anak yang masuk pada Direktorat selain Direktorat Jenderal Pajak. Mereka tinggal menerima sepenuhnya tanpa bisa mengatur strategi untuk mendapatkan pilihannya. Yang akan sangat menarik adalah bagi mereka yang masuk DJP. Kabarnya salah satu patokan penempatan adalah besarnya IPK yang mereka peroleh. Dengan demikian mereka akan sangat bergantung pada hasil IPK yang mereka peroleh dalam mengimpikan kantor yang diinginkan. Hal ini dapat diartikan mereka akan saling bunuh untuk mendapatkan tempat-tempat yang mereka inginkan.
Perlu diingat bahwa IPK yang lebih tinggi akan mendapatkan keuntungan dibandingkan dengan mereka yang mempunyai IPK lebih kecil. Mereka yang mempunyai IPK lebih besar akan mengalahkan mereka yang mempunyai IPK lebih kecil jika terjadi tempat yang mereka pilih adalah sama. Hal ini terjadi karena IPK lebih tinggi mendapatkan prioritas lebih dibandingkan IPK kecil. Sungguh mengerikan membayangkan dampak yang bisa terjadi dengan adanya penempatan yang seperti ini. Para mahasiswa akan saling bersaing untuk mendapatkan IPK yang sebaik-baiknya untuk mengalahkan teman-temannya. Memang disisi lain hal ini dapat memunculkan semangat belanjar yang lebih besar. Tetapi efek sebaliknya juga kemungkinan bisa terjadi, yaitu adanya persaingan tidak sehat dan saling menjatuhkan antarmahasiswa. Aroma ini akan semakin kentara pada mahasiswa DIV. Hal ini dikarenakan mereka sadar betul akan efek dari tempat mereka bekerja dengan kehidupan yang akan mereka jalani, sehingga mereka benar-benar berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan tempat yang mereka inginkan.
Setiap orang tentulah menginginkan bahwa semua impiannya akan dapat terwujud. Tapi apakah itu semua mungkin? menurut saya semua itu tidaklah mungkin. Jika benar dapat terwujud, berarti kita sekarang sedang berada di surga. Begitu pula dengan para mahasiswa yang mengimpikan penempatan di kantor-kantor yang mereka inginkan. Pastilah ada beberapa mahasiswa yang mendapatkan tempat tidak sesuai dengan tempat yang mereka inginkan. Kalo begitu apakah adil sistem yang dianut dalam penempatan mahasiswa STAN di DJP?
Bicara soal adil tidak adil tergantung dari mana kita melihatnya. Bisa jadi adil bagi orang tertentu tetapi tidak adil bagi yang lain. Bagi teman-teman yang kemampuan intelejensinya di bawah yang lain dengan metode seperti itu berarti akan selalu mendapatkan penempatan sisa dari teman-teman yang lain. Apakah itu adil?Sekarang kalo seandainya teman yang nilainya jauh lebih baik mendapatkan tempat yang lebih buruk, apakah itu adil?semua tergantung dari nurani masing-masing. Memang IPK tidaklah mencerminkan kemampuan intelejensi sepenuhnya dari pemiliknya, tetapi yang jadi masalah adalah IPK merupakan salah satu hal yang akan menentukan nasib para mahasiswa tersebut. Jadi bagimana...?
Sekarang kalo mau berpikir jernih sebenarnya persoalan tidaklah serumit yang dibayangkan. Tiap orang pastilah mempunyai kemampuan dan potensi yang dimiliki masing-masing. Di manapun tempat kita berada jika kita mampu mengembangkan potensi yang kita miliki maka kesuksesan hidup akan kita dapatkan. Tak masalah seandainya kita ditempatkan di pinggiran republik ini tetapi kita mendapatkan kesuksesan hidup. Dari berbagai survei ternyata banyak teman-teman yang justru sukses di tempat yang semula tidak mereka inginkan, bahkan kemudian mereka menetap dan membangun keluarga di sana. Jadi secara kasarnya tempat dimana kita besok ditempatkan tidaklah sepenuhnya menjamin kesuksesan atau kegagalan kita. Satu hal yang menjadi catatan adalah bahwa ini semua tidak berlaku bagi temen-temen yang mempunyai rasa "homesick" berlebihan, yang merasa ketakutan tidak bisa hidup jika tidak dekat dengan orang tua atau tanah kelahirannya.
Jadi warga republik ini haruslah berjiwa besar. Jika kita tidak mau menempati seluruh tempat di republik ini lalu siapa lagi. Anggaplah semua wilayah republik ini sama seperti tempat dimana kita dilahirkan, toh tempat itu juga adalah sama, yaitu wilayah di republik yang kita cintai ini.
Satu hal yang terpenting adalah bahwa kita bukan pihak yang mengeluarkan SK Penempatan kita, bagaimanpun strategi kita, tetap kita hanya bisa menerima. Seandainya IPK kita bagus toh jika atasan kita menempatkan kita di pinggiran republik ini, kita mau apa, hayooo mau apa....