Rabu, 10 Oktober 2012

SKB Warisan

Berbicara masalah warisan memang menarik....
Terkadang warisan ini membuat para ahli waris bahagia, namun terkadang juga berujung pada malapetaka....
Ada keluarga yang tadinya bahagia berubah menjadi medan perang bharatayudha gara-gara pembagian warisan.
Terlepas dari apakah warisan menimbulkan keberkahan atau malah menimbulkan mudarat bagi keluarga, warisan tetap harus tunduk pada ketentuan perpajakan yang berlaku. Salah satu ketentuan perpajakan yang mengatur tentang warisan ini adalah terkait dengan Surat Keterangan Bebas atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Yang sering jadi pertanyaan adalah dimana mengurus Surat Keterangan Bebas (SKB) ini. SKB ini penting karena merupakan syarat agar tidak dikenai kewajiban untuk membayar PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Menurut saya pribadi, agak sedikit janggal pengaturan tentang SKB ini. SKB ini adalah syarat untuk diberikan pembebasan atas kewajiban pembayaran PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Mengapa begitu, karena pembebasan diberikan dengan penerbitan SKB. Artinya tanpa SKB pembebasan tidak diberikan, yang berarti tetap harus membayar PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Padahal sudah jelas diatur dalam UU PPh bahwa warisan dikecualikan sebagai objek pajak. Dengan kata lain, UU PPh sudah mengatur bahwa atas warisan tidak dikenakan PPh.
Mekanisme SKB pada umumnya digunakan sebagai dokumen formal atas fasilitas bebas dari pengenaan pajak atas objek pajak tertentu (harusnya dikenakan PPh tetapi karena diberikan fasilitas maka tidak dikenakan PPh, contohnya SKB PPh Pasal 22 impor, SKB pemotongan pemungutan PPh PER-1/PJ/2011). Ketentuan yang menjadi dasar mekanisme SKB ini adalah PER-30/PJ/2009:
  1. Pasal 2 ayat (1) hruuf e, dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan;
  2. Pasal 3 ayat (1), pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf e, diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
  3. Pasal 4 ayat (1), permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diajukan secara tertulis oleh orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat orang pribadi atau badan yang bersangkutan terdaftar atau bertempat tinggal dengan format sesuai dengan Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  4. Pasal 4 ayat (2), dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan, permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh ahli waris. 
SKB ini penting tidak hanya terkait pembebasan kewajiban pembayaran pajak, tetapi terkait juga dengan proses pembuatan akta atau sertifikat atas tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek warisan. PPAT atau BPN tidak diperbolehkan menandatangi Akta atau Sertifikat terkait pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum kewajiban perpajakannya dilunasi, dengan kata lain PPAT atau BPN tidak akan menandatangani Akta atau Sertifikat tanpa adanya bukti pembayaran PPh (berupa SSP) atau dalam hal dibebaskan dengan SKB.
Terkait dengan proses permohoan SKB ini, sering timbul pertanyaan dimana tempat mengajukan permohonan SKB atas waris ini. Pengaturan tentang tempat mengajukan SKB sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) PER-30/PJ/2009 seperti tersebut diatas, tetapi terkait dengan SKB waris  timbul dua penafsiran yang berbeda, yaitu di KPP ahli waris (dengan alasan yang mengajukan adalah ahli waris), dan KPP pewaris (dengan alasan bahwa yang mengalihkan adalah pewaris).
Membaca ketentuan Pasal 4 ayat (2) PER-30/PJ/2009 harus dikembalikan kepada konsep PPh. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak yang menerima penghasilan. Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan penerima penghasilan adalah yang mengalihkan hak, misalnya penjual dalam hal jual beli. Dalam hal waris maka yang mengalihkan adalah pewaris. Dengan demikian pada hakikatnya yang mempunyai kewajiban pembayaran PPh pengalihan adalah pewaris, dalam hal PPh dibebaskan tentu yang di-SKB-kan adalah pewaris (atas nama pewaris). Dengan konsep tersebut maka seharusnya permohonan SKB dilakukan oleh pewaris dan diajukan ke KPP pewaris terdaftar atau bertempat tinggal. Oleh karena dalam hal waris pewarisnya sudah meninggal tentu saja pewaris tidak bisa mengurus permohonan SKB, maka permohonan SKB dilakukan oleh ahli waris menggantikan/sebagai kuasa dari pewaris.
Dengan konsep  tersebut maka dapat disimpulkan bahwa proses permohonan SKB Waris dilakukam oleh ahli waris, diajukan kepada KPP tempat pewaris terdaftar/domisili (semasa hidupnya).

Rabu, 22 Februari 2012

Penghasilan istri dari suami yang berstatus SPLN

Untuk menentukan suatu penghasilan merupakan objek PPh atau bukan objek PPh harus mengacau pada Pasal 4 UU PPh. Pasal 4 ayat (1) mengatur tentang objek PPh, Pasal 4 ayat (2) mengatur tentang objek PPh yang pengenaan pajaknya bersifat final, sedangkan Pasal 4 ayat (3) mengatur tentang penghasilan yang bukan merupakan objek PPh.

Berdasarkan Pasal 8 UU PPh pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak orang pribadi dikenakan terhadap keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi. Dengan demikian satu keluarga tersebut merupakan satu Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan. Dalam keluarga tersebut tentu terdapat suami sebagai kepala keluarga, istri, dan anak yang belum dewasa. Oleh karena satu keluarga merupakan satu Wajib Pajak maka penghasilan istri atau anak yang belum dewasa dianggap sebagai penghasilan suami sebagai kepala keluarga yang mewakili kewajiban sebagai Wajib Pajak atas keluarga tersebut.

Di Pasal 8 UU PPh juga diatur mengenai penghitungan Pajak Penghasilan terutang atas Wajib Pajak orang pribadi, yaitu keluarga sebagai satu Wajib Pajak, yaitu:

  1. Penghitungan menjadi satu; penghasilan suami-istri dan anak digabung untuk kemudian dihitung berapa PPh yang terutang;
  2. penghitungan dengan proporsional, yaitu untuk suami-istri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, dan untuk istri yang memilih menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Penghasilan suami dan istri digabung dan dihitung berapa Pajak Penghasilan yang terutang untuk kemudian Pajak Penghasilan yang terutang tersebut dibagi kepada suami dan istri sebanding dengan besarnya penghasilan masing-masing.

Suami-istri yang memenuhi dua kriteria penghitungan di atas adalah merupakan satu Wajib Pajak, dalam hal ini adalah Wajib Pajak dalam negeri. Hal ini tentu tidak berlaku untuk suami-istri yang telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim. Suami-istri yang telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim merupakan dua kesatuan ekonomi terpisah (dua Wajib Pajak). Oleh karena antara suami-istri merupakan satu Wajib Pajak, maka transfer penghasilan antara suami dan istri tentu tidak dianggap merupakan penghasilan bagi suami atau istri, karena tranfer penghasilan tersebut terjadi antar bagian yang merupakan satu kesatuan sebagai satu Wajib Pajak. Bisa diartikan Wajib Pajak memberikan penghasilan kepada dirinya sendiri (dengan kata lain hal tersebut bukan merupakan penghasilan).

Perlakuan penghitungan Pajak Penghasilan suami istri seperti di atas akan menjadi berbeda dalam hal suami atau istri merupakan SPLN.

Seperti dijelaskan sebelumnya keluarga sebagai satu entitas dianggap sebagai satu Wajib Pajak, penghasilan anggota keluarga akan diperhitungkan sebagai penghasilan keluarga sebagai satu kesatuan dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang. Berdasarkan prinsip world wide income maka baik penghasilan keluarga yang berasal dari Indonesia maupun dari luar indonesia akan dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia. Dalam hal atas penghasilan yang berasal dari luar Indonesia telah dikenai pajak, maka pajak yang terutang di luar indonesia tersebut dapat dikreditkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia. Hal ini dikarenakan satu kesatuan keluarga tersebut merupakan Wajib Pajak dalam negeri yang hak pemajakannya di Indonesia.

Berbeda jika suami atau istri merupakan SPLN. Dalam hal suami merupakan SPLN maka atas penghasilan suami di luar negeri tentu hak pemajakannya ada di luar negeri, Indonesia tidak punya hak pemajakan. Dengan demikian, konsep keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi yang dianggap sebagai satu Wajib Pajak dalam negeri menjadi tidak dapat dijalankan karena penghasilan suami ternyata hak pemajakannya ada di luar negeri yang tidak bisa ditarik/digabung sebagai penghasilan keluarga. Dengan kata lain suami-istri menjadi tidak bisa dianggap satu kesatuan ekonomi sebagai satu Wajib Pajak dalam negeri, suami-istri tidak bisa lagi dianggap satu Wajib Pajak.

Konsekuensinya adalah dalam hal terjadi transfer penghasilan antara suami sebagai SPLN kepada istri yang merupakan Wajib Pajak dalan negeri tidak bisa dianggap transfer penghasilan antar anggota keluarga sebagai satu kesatuan Wajib Pajak (tidak bisa dianggap lagi Wajib Pajak memberikan penghasilan kepada dirinya sendiri).

Dengan demikian apabila terjadi transfer penghasilan yang tidak memenuhi penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh antara suami yang merupakan SPLN kepada istri yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri maka penghasilan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan.

Selasa, 24 Januari 2012

Kompensasi PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pemenuhan kewajiban PPh Pasal 21 ini dilakukan melalui pemotongan oleh pemberi penghasilan, baik yang merupakan pemberi kerja maupun penyelenggara kegiatan. Bagi si penerima penghasilan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi penghasilan merupakan kredit pajak yang dapat dikreditkan atau dikurangkan dari Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun bersangkutan.

Kewajiban pemberi penghasilan adalah melakukan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang, menyetorkannya ke kas negara, serta melaporkan kewajiban potong dan setor tersebut menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21. Pemberi penghasilan sebagai pemotong PPh Pasal 21 juga berkewajiban memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada penerima penghasilan sebagai bukti telah dilakukan pemotongan dan sebagai bukti syah yang akan digunakan oleh penerima penghasilan dalam mengkreditkan PPh Pasal 21 tersebut.

PPh Pasal 21 merupakan pelunasan pajak oleh penerima penghasilan (pajak tersebut merupakan hak penerima penghasilan). Pemberi penghasilan hanya diamanahkan oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan, penyetoran, serta melaporkannya. Begitu pula jika ternyata pemotongan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan ternyata lebih besar dari yang seharusnya dipotong, kelebihan tersebut merupakan hak si penerima penghasilan, bukan hak si pemberi penghasilan. Oleh karena itu, PPh Pasal 21 menganut sistem kompensasi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 dengan cara mengurangkan PPh Pasal 21 yang terutang pada masa berikutnya (khusus untuk pegawai tetap).

Dalam pelaporan atas pemotongan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan juga dikenal istilah "kompensasi ke masa berikutnya". Istilah ini digunakan untuk mengurangkan PPh Pasal 21 yang harus disetor pada suatu masa dengan kelebihan setor pada masa sebelumnya. Kompesasi PPh Pasal 21 dilakukan melalui penghitungan dalam SPT Masa PPh Pasal 21. Dengan demikian untuk dapat mengkompensasikan kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 harus melalui pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dimana terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21.

1. Kelebihan penyetoran yang berasal dari pemotongan kepada selain pegawai tetap

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk selain pegawai tetap dilakukan untuk setiap kali penghasilan terutang atau dibayarkan. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk selain pegawai tetap tidak dilakukan penghitungan kembali pada masa Desember. Dengan demikian tidak ada mekanisme kompensasi PPh Pasal 21 bagi si penerima penghasilan. Dalam hal pada suatu masa terjadi kesalahan pemotongan yang mengakibatkan PPh Pasal 21 yang dipotong lebih besar dari yang seharusnya dipotong, maka kelebihan tersebut dapat diminta kembali (tidak dikompensasikan) baik melalui mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran Pajak (Pasal 17 ayat (2) KUP) atau diminta melalui SPT Tahunan OP, yaitu tetap dikreditkan sehingga mengakibatkan lebih bayar dalam SPT Tahunan OP dan direstitusikan. Selain itu, kelebihan pemotongan PPh pasal 21 juga bisa diminta melalui pemotong, yaitu pemotong membetulkan pemotongannya dan kelebihannya dibayarkan kembali kepada si penerima penghasilan.

Dalam hal pemberi penghasilan membetulkan pemotongannya, maka pemberi penghasilan akan mengganti bukti pemotongan yang telah diberikan menjadi bukti pemotongan yang baru dan kelebihan pemotongannya diberikan secara tunai. Kemudian pemberi penghasilan membetulkan SPT Masa yang telah dilaporkan menjadi yang sebenarnya dan kelebihan pemotongan tersebut dikompensasikan ke masa berikutnya.

2. Kelebihan penyetoran yang berasal dari pemotongan kepada pegawai tetap

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dilakukan untuk setiap bulan dan akan dihitung kembali pada masa Desember. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang setiap bulan untuk pegawai tetap dihitung berdasarkan perkiranaan penghasilan yang akan diterima dalam satu tahun. Dengan kata lain PPh Pasal 21 yang terutang dan dipotong setiap bulan merupakan cicilan dari keselurahan PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dan dipotong dalam satu tahun.

Oleh karena PPh Pasal 21 yang terutang dan dipotong setiap bulan merupakan cicilan PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dan dipotong dalam satu tahun yang dihitung berdasarkan perkiraan penghasilan dalam satu tahun tentunya.





Selasa, 10 Januari 2012

Pinjaman Tanpa Bunga dari Pemegang Saham

Pengaturan tentang pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham merupakan salah satu pengaturan yang sering ditanyakan terkait dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010. Memang pengaturannya cukup jelas, yaitu bahwa pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham kepada perusahaan (PT) diperkenankan apabila:
  1. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
  2. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
  3. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
  4. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

Dengan pengaturan pinjamanan tanpa bunga dari pemegang saham dalam Pasal 12 PP 94 Tahun 2010 tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam hal pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham tersebut memenuhi keempat persyaratan maka dianggap tidak ada bunga atas pinjaman yang diberikan oleh pemegang saham.

Nah, bagaimana jika sebaliknya?

Apabila ternyata dari 4 persyaratan tersebut ada yang tidak terpenuhi, maka dapat disimpulkan bahwa atas pinjaman tersebut dianggap ada bunga (walaupun judulnya adalah pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham).

Pertanyaan selanjutnya adalah apabila dianggap ada bunga, kapan saat terutangnya bunga tersebut, selanjutnya bagaimana pemotongan atas bunga yang dianggap ada tersebut, bagaimana pelaporan SPT Masa atas pemotongan tersebut. Wah, jadi rumit. Hal ini dikarenakan tidak ada uang yang ditransfer dari perusahaan ke pemegang saham sebagai pembayaran bunga.

Memang kalo kita lihat dari sudut aturan pemotongan akan jadi rumit, tidak sesimpel penetapan ada dan tidaknya bunga yang timbul dikarenakan 4 persyaratan tersebut. Sebagai orang yang baru belajar aturan pemotongan, saya pertama-tama juga menafsirkan aturan tersebut dari sudut pandang pemotongan (PPh Pasal 23 atas bunga) dan tentu saja menemui permasalah tersebut: kapan potong, bukti potongnya bagaimana, kapan lapor, dan sebagaimananya. Setelah saya baca kembali sepertinya aturan bunga pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham tersebut tidak ditujukan untuk mengatur masalah pemotongan, melainkan pengaturan masalah koreksi fiskal.

Saya berpendapat bahwa penentuan ada tidaknya bunga atas pinjaman dari pemegang saham kepada perusahan adalah hanya sebatas ada atau tidak biaya bunga bagi perusahaan dan penghasilan bunga bagi pemegang saham. Dalam hal ditetapkan bahwa secara ketentuan harus ada bunga, maka pemeriksa pajak harus menetapkan bahwa ada biaya bunga yang harus diakui oleh perusahaan (koreksi negatif), sedangkan di kewajiban perpajakan pemegang saham harus ditetapkan bahwa terdapat penghasilan berupa bunga pinjaman (koreksi porsitif). Nah selanjutnya karena ada biaya bunga bagi perusahaan maka perusahaan dikenakan kewajiban pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 23 atas bunga. Bagaimana penghitungan kewajiban atas pemotongan ini. Tentu saja akan ditagih/diperhitungkan dalam Surat Ketetapan Pajak yang dihasilkan dari proses pemeriksaan. Jadi ditagihnya melalui SKP, terutangnya adalah untuk tahun bersangkutan terjadinya bunga, tanpa adanya sanksi keterlambatan pelaporan SPT Masa (untuk tiap bulan seperti layaknya bunga yang berlaku di pasar).