Selasa, 24 Januari 2012

Kompensasi PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pemenuhan kewajiban PPh Pasal 21 ini dilakukan melalui pemotongan oleh pemberi penghasilan, baik yang merupakan pemberi kerja maupun penyelenggara kegiatan. Bagi si penerima penghasilan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi penghasilan merupakan kredit pajak yang dapat dikreditkan atau dikurangkan dari Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun bersangkutan.

Kewajiban pemberi penghasilan adalah melakukan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang, menyetorkannya ke kas negara, serta melaporkan kewajiban potong dan setor tersebut menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21. Pemberi penghasilan sebagai pemotong PPh Pasal 21 juga berkewajiban memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada penerima penghasilan sebagai bukti telah dilakukan pemotongan dan sebagai bukti syah yang akan digunakan oleh penerima penghasilan dalam mengkreditkan PPh Pasal 21 tersebut.

PPh Pasal 21 merupakan pelunasan pajak oleh penerima penghasilan (pajak tersebut merupakan hak penerima penghasilan). Pemberi penghasilan hanya diamanahkan oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan, penyetoran, serta melaporkannya. Begitu pula jika ternyata pemotongan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan ternyata lebih besar dari yang seharusnya dipotong, kelebihan tersebut merupakan hak si penerima penghasilan, bukan hak si pemberi penghasilan. Oleh karena itu, PPh Pasal 21 menganut sistem kompensasi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 dengan cara mengurangkan PPh Pasal 21 yang terutang pada masa berikutnya (khusus untuk pegawai tetap).

Dalam pelaporan atas pemotongan yang dilakukan oleh pemberi penghasilan juga dikenal istilah "kompensasi ke masa berikutnya". Istilah ini digunakan untuk mengurangkan PPh Pasal 21 yang harus disetor pada suatu masa dengan kelebihan setor pada masa sebelumnya. Kompesasi PPh Pasal 21 dilakukan melalui penghitungan dalam SPT Masa PPh Pasal 21. Dengan demikian untuk dapat mengkompensasikan kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 harus melalui pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dimana terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21.

1. Kelebihan penyetoran yang berasal dari pemotongan kepada selain pegawai tetap

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk selain pegawai tetap dilakukan untuk setiap kali penghasilan terutang atau dibayarkan. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk selain pegawai tetap tidak dilakukan penghitungan kembali pada masa Desember. Dengan demikian tidak ada mekanisme kompensasi PPh Pasal 21 bagi si penerima penghasilan. Dalam hal pada suatu masa terjadi kesalahan pemotongan yang mengakibatkan PPh Pasal 21 yang dipotong lebih besar dari yang seharusnya dipotong, maka kelebihan tersebut dapat diminta kembali (tidak dikompensasikan) baik melalui mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran Pajak (Pasal 17 ayat (2) KUP) atau diminta melalui SPT Tahunan OP, yaitu tetap dikreditkan sehingga mengakibatkan lebih bayar dalam SPT Tahunan OP dan direstitusikan. Selain itu, kelebihan pemotongan PPh pasal 21 juga bisa diminta melalui pemotong, yaitu pemotong membetulkan pemotongannya dan kelebihannya dibayarkan kembali kepada si penerima penghasilan.

Dalam hal pemberi penghasilan membetulkan pemotongannya, maka pemberi penghasilan akan mengganti bukti pemotongan yang telah diberikan menjadi bukti pemotongan yang baru dan kelebihan pemotongannya diberikan secara tunai. Kemudian pemberi penghasilan membetulkan SPT Masa yang telah dilaporkan menjadi yang sebenarnya dan kelebihan pemotongan tersebut dikompensasikan ke masa berikutnya.

2. Kelebihan penyetoran yang berasal dari pemotongan kepada pegawai tetap

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dilakukan untuk setiap bulan dan akan dihitung kembali pada masa Desember. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang setiap bulan untuk pegawai tetap dihitung berdasarkan perkiranaan penghasilan yang akan diterima dalam satu tahun. Dengan kata lain PPh Pasal 21 yang terutang dan dipotong setiap bulan merupakan cicilan dari keselurahan PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dan dipotong dalam satu tahun.

Oleh karena PPh Pasal 21 yang terutang dan dipotong setiap bulan merupakan cicilan PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dan dipotong dalam satu tahun yang dihitung berdasarkan perkiraan penghasilan dalam satu tahun tentunya.





Selasa, 10 Januari 2012

Pinjaman Tanpa Bunga dari Pemegang Saham

Pengaturan tentang pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham merupakan salah satu pengaturan yang sering ditanyakan terkait dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010. Memang pengaturannya cukup jelas, yaitu bahwa pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham kepada perusahaan (PT) diperkenankan apabila:
  1. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
  2. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
  3. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
  4. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

Dengan pengaturan pinjamanan tanpa bunga dari pemegang saham dalam Pasal 12 PP 94 Tahun 2010 tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam hal pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham tersebut memenuhi keempat persyaratan maka dianggap tidak ada bunga atas pinjaman yang diberikan oleh pemegang saham.

Nah, bagaimana jika sebaliknya?

Apabila ternyata dari 4 persyaratan tersebut ada yang tidak terpenuhi, maka dapat disimpulkan bahwa atas pinjaman tersebut dianggap ada bunga (walaupun judulnya adalah pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham).

Pertanyaan selanjutnya adalah apabila dianggap ada bunga, kapan saat terutangnya bunga tersebut, selanjutnya bagaimana pemotongan atas bunga yang dianggap ada tersebut, bagaimana pelaporan SPT Masa atas pemotongan tersebut. Wah, jadi rumit. Hal ini dikarenakan tidak ada uang yang ditransfer dari perusahaan ke pemegang saham sebagai pembayaran bunga.

Memang kalo kita lihat dari sudut aturan pemotongan akan jadi rumit, tidak sesimpel penetapan ada dan tidaknya bunga yang timbul dikarenakan 4 persyaratan tersebut. Sebagai orang yang baru belajar aturan pemotongan, saya pertama-tama juga menafsirkan aturan tersebut dari sudut pandang pemotongan (PPh Pasal 23 atas bunga) dan tentu saja menemui permasalah tersebut: kapan potong, bukti potongnya bagaimana, kapan lapor, dan sebagaimananya. Setelah saya baca kembali sepertinya aturan bunga pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham tersebut tidak ditujukan untuk mengatur masalah pemotongan, melainkan pengaturan masalah koreksi fiskal.

Saya berpendapat bahwa penentuan ada tidaknya bunga atas pinjaman dari pemegang saham kepada perusahan adalah hanya sebatas ada atau tidak biaya bunga bagi perusahaan dan penghasilan bunga bagi pemegang saham. Dalam hal ditetapkan bahwa secara ketentuan harus ada bunga, maka pemeriksa pajak harus menetapkan bahwa ada biaya bunga yang harus diakui oleh perusahaan (koreksi negatif), sedangkan di kewajiban perpajakan pemegang saham harus ditetapkan bahwa terdapat penghasilan berupa bunga pinjaman (koreksi porsitif). Nah selanjutnya karena ada biaya bunga bagi perusahaan maka perusahaan dikenakan kewajiban pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 23 atas bunga. Bagaimana penghitungan kewajiban atas pemotongan ini. Tentu saja akan ditagih/diperhitungkan dalam Surat Ketetapan Pajak yang dihasilkan dari proses pemeriksaan. Jadi ditagihnya melalui SKP, terutangnya adalah untuk tahun bersangkutan terjadinya bunga, tanpa adanya sanksi keterlambatan pelaporan SPT Masa (untuk tiap bulan seperti layaknya bunga yang berlaku di pasar).