Rabu, 22 Juli 2009

PPh atas Agen Asuransi

Perlakuan PPh atas Agen Asuransi merupakan pengenaan PPh yang paling membingungkan penerapannya. Hal ini terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan dalam Sosialisasi Per-31, Per-32, dan Stimulus PPh Pasal 21 yang dilakukan Subdit Peraturan Potput PPh dan PPh OP Direktorat Peraturan Perpajakan II di Kantor Pusat DJP untuk para pemeriksa dan AR seluruh jakarta. Dari dua sesi yang disediakan panitia hampir kesemuanya menanyakan tentang perlakuan perpajakan untuk agen asuransi. Pertanyaan yang mendasar dari perlakuan perpajakan untuk agen asuransi adalah apakah agen asuransi termasuk pegawai ataukah melakukan pekerjaan bebas. Hal itu akan memicu konsekuensi hukum yang sangat berbeda. Jika termasuk dalam melakukan pekerjaan bebas berarti agen asuransi salah satunya dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dalam menghitung kewajiban pajaknya.
Jawaban yang disajikan umumnya berupa kondisional, hal tersebut dikarenakan memang pihak Subdit Peraturan Potput PPh dan PPh OP berhati-hati dalam mengambil keputusan. Lagipula untuk tiap-tiap agen asuransi kondisinya berbeda-beda, sehingga penentuan status dan pengenaan pajaknya diserahkan kepada para petugas dilapangan yaitu pemeriksa dan Account Representative (AR).
Pada pokoknya penentuan apakah agen asuransi termasuk pegawai atau melakukan pekerjaan bebas mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Pada Pasal 1 butir 24 disebutkan bahwa pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. Dengan adanya ketentuan tersebut berarti yang disebut melakukan pekerjaan bebas harus mempunyai dua syarat khusus, yaitu:
  1. memiliki keahlian khusus; dan
  2. tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Untuk syarat yang pertama, yaitu memiliki keahlian khusus untuk agen asuransi sepertinya syarat ini dapat terpenuhi karena adanya sertifikasi tertentu untuk agen asuransi sedangkan untuk syarat yang kedua masih dalam perdebatan.
syarat tidak terikat oleh hubungan kerja didefinisikan apabila memenuhi kualifikasi:
  1. tidak bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi dan dalam pelaksanaan tugasnya agen asuransi bebas untuk merumuskan kebijakan sendiri sehingga tidak tergantung pada kebijakan perusahaan asuransi;
  2. agen asuransi bebas untuk memberikan jasanya kepada perusahaan asuransi lain.
Jika kedua syarat tersebut dipenuhi maka agen asuransi disebut melakukan pekerjaan bebas dan dapat menghitung pengenaan pajaknya dengan norma penghasilan neto. Penggunaan norma penghasilan neto oleh agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas juga tidak bisa diterapkan oleh semua agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas. Syarat agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas yang dapat mengggunakan norma penghitungan penghasilan neto adalah:
  1. yang memiliki peredaran bruto kurang dari 4,8 miliyar
  2. memberitahukan mengenai penggunaan norma penghitungan penghasilan neto kepada KPP tempat wajib pajak terdaftar paling lama 3 (tiga bulan) sejak awal tahun pajak bersangkutan.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana agen asuransi yang tidak termasuk melakukan pekerjaan bebas ingin mengakui biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menjalin relasi dan closing polis asuransi dengan nasabah. Jika tidak bisa mengakui biaya berarti ada perlakuan yang tidak adil, ada agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas yang memenuhi syarat tertentu dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto yang nota bene dapat diartikan memperoleh pengurangan penghasilan atas biaya yang dikeluarkan sedangkan untuk agen asuransi yang tidak melakukan pekerjaan bebas tidak bisa mengurangkan biaya yang telah dikeluarkan.
Perlakuan tidak adil ini sebenarnya tidak ada. Bagi agen asuransi yang tidak melakukan pekerjaan bebas sehingga tidak dapat mengakui biaya lewat norma penghitungan penghasilan neto sebenarnya masih bisa mengakui biaya yang dikeluarkan terkait penghasilan yang diperoleh dengan mekanisme pencatatan biaya. Mekanisme ini sudah di atur dengan keluarnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Pasal 1, Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menyelanggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah:
  1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto; dan
  2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau melakukan pekerjaan bebas.
Pasal 3 ayat (1), pencatatan yang harus diselenggarakan oleh wajib pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b meliputi:
  1. penghasilan bruto yang diterima yang merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
  2. penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaannya pajaknya bersifat final.
Dengan mengacu pada pasal 3 ayat (1) PER-04/PJ/2009 berarti agen asuransi yang tidak melakukan pekerjaan bebas dapat mengakui biaya yang dikeluarkan sepanjang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yaitu dengan melakukan pencatatan atas biaya tersebut. Form pencatatan biaya tersebut juga telah disediakan sesuai dengan format yang ada dalam lampiran peraturan dirjen pajak tersebut.
Dalam kesimpulan saya berarti baik agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas maupun tidak sama-sama dapat mengakui biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Untuk agen asuransi yang melakukan pekerjaan bebas dan memenuhi syarat tertentu di atas dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto sedangkan agen asuransi yang tidak melakukan pekerjaan bebas dapat menggunakan mekanisme pencatatan.








Kamis, 09 Juli 2009

Kena Tarif PPh Konstruksi atau Jasa Lainnya

Dengan terbitnya PMK 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 banyak Wajib Pajak yang menanyakan apakah jasa yang diberikan kepada pengguna jasa akan dipotong sebagai pemberian jasa konstruksi ataukah termasuk pemberian jasa lainnya yang ada dalam Pasal 23 UU PPh.
Hal tersebut bersumber pada pengaturan yang ada dalam PMK 244/PMK.03/2008:

Pasal 1
Ayat 1: imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2 % (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Ayat 2: Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
r. Jasa Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
s. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transporatasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

Dengan ada PMK tersebut pertanyaan yang muncul adalah jika ada Wajib Pajak yang mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi melakukan pekerjaan instalasi atau perawatan apakah akan dikenakan pemotongan jasa konstruksi atau jasa lainnya yang ada dalam PMK 244/PMK.03/2008.
Jika akan dikenakan PPh final atas Jasa Konstruksi permasalahannya adalah bahwa jasa yang diberikan bukan merupakan jasa konstruksi, sedangkan jika akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2 % atas pemberian jasa yang termasuk jasa lainnya maka tidak bisa dilakukan karena mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
Dengan demikian jika ada pengusaha konstruksi melakukan pekerjaan instalasi atau perawatan maka tidak bisa dikenakan pemotongan atas jasa konstruksi dan juga tidak bisa dilakukan pemotongan atas jasa lainnya, sehingga atas pemberian jasa tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh.
Hal tersebut akan sejalan dengan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009, Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan selain Jasa Konstruksi.




Rabu, 08 Juli 2009

Jasa Konstruksi atau Jasa Instalasi/Pemasangan

Jasa Konstruksi dan Jasa Instalasi/Pemasangan dilihat dari jenis jasanya memang sangat berbeda. Dilihat dari namanya pun sudah sangat berbeda, konstruksi adalah menciptakan suatu bangunan sedangkan jasa pemasangan adalah memasang suatu benda kepada benda yang lainnya. Namun hal tersebut akan menjadi rumit dalam penerapan peraturan perpajakan. Wajib Pajak mungkin akan merasa bingung apakah jasa yang dilakukannya atau jasa yang diminta ke penyedia jasa merupakan jasa konstruksi atau jasa instalasi/pemasangan. Terlebih lagi kedua hal tersebut dikenai tarif yang berbeda, Jasa Konstruksi dikenai tarif final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009:
  1. 2 % (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
  2. 4 % (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
  3. 3 % (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  4. 4 % (empat pesen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  5. 6 % (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
sedangkan untuk jasa instalasi/pemasangan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2 % (dua persen) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 pasal 1 ayat (2) huruf r.

Pertanyaan seperti apakah jasa yang saya lakukan harus dipotong jasa konstruksi sebesar 3 % final ataukah harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2 % sering dialami oleh penyedia jasa yang bergerak dalam bidang jasa instalasi/pengadaan alat komunikasi yang bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi (contoh:kontrak kerja instalasi jaringan telekomunikasi antar PT Lintas Teknologi dengan PT Telkom). Penyedia Jasa sering ragu tentang pengenaan Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap jasa yang mereka berikan, sedangkan pengguna jasa langsung memotong PPh atas Jasa Konstruksi. Memang tindakan pemotong pajak bukan tanpa alasan. Pemotong pajak langsung mengenakan PPh atas Jasa Konstruksi dikarenakan penyedia jasa memiliki sertifikasi jasa pelaksaan konstruksi dengan bidang usaha elektrikal subbidang jaringan transmisi telekomunikasi dan atau telepon, termasuk perawatannya.

Pemecahan masalah ini adalah dengan melihat kontrak kerja antara pengguna dan penyedia jasa. Dalam kontrak kerja dapat dilihat apakah pekerjaan yang dilakukan termasuk pelaksanaan konstruksi ataukah tidak. Fiskus sering mendefinisikan bahwa yang termasuk jasa konstruksi adalah pemberian jasa untuk membangun suatu bangunan dari awal sampai akhir termasuk penyediaan materialnya, jika dalam kontrak tercakup hal tersebut maka dapat disebut pemberian jasa konstruksi:
1. membangun suatu bangunan dari awal sampai akhir;
2. termasuk pengadaan material.

Celakanya dalam prakteknya ketentuan tersebut sering disalahgunakan untuk menghindari pengenaan tarif pemotongan pajak yang lebih tinggi, yaitu tetap dikenakan tarif PPh Pasal 23 sebesar 2 %. Praktek ini sering dilakukan dengan kesepakatan antara penyedia jasa dan pengguna jasa dengan membuat kontrak yang dibuat agar tidak termasuk pemberian jasa konstruksi.